BUKU PANDUAN KULIAH KERJA LAPANG (KKL 1)

ATA (2008/2009)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





Taqiyudin, S.Si, M.Hum

Drs. Sobirin, M.Si

Drs. Supriatna, M.T

Drs. Tjiong Giok Pin, M.Si

Revi Hernina, S.Si. M.T

Seno Bayu Adjie, S.Si

 

 

 

 

 

DEPARTEMEN GEOGRAFI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

 2009

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Pergi ke lapang

 

“Geography is concerned to provide accurate, orderly, and rational description and interpretation of the variable character of the earth’s surface”   (Richard Hartshorne, 1959)

 

Disiplin ilmu geografi selalu berkaitan dengan permukaan bumi.  Oleh karena itu, setiap orang yang mempelajari ilmu geografi harus dapat memahami permukaan bumi dengan baik.  Seperti pendapat umum yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk belajar berenang adalah dengan menceburkan diri ke dalam air, maka cara terbaik untuk mempelajari permukaan bumi adalah dengan pergi ke lapang.  Dengan pergi ke lapang, seseorang bukan saja dapat melihat secara langsung gajala atau peristiwa di permukaan bumi, namun juga dapat merasakan suasana lapang tempat suatu peristiwa terjadi. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, seakan-akan ia juga merasa terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut.    Singkatnya, melalui kegiatan di lapang, seseorang akan dapat membiasakan dan melatih indera serta perasaanya untuk memahami berbagai peristiwa di permukaan bumi.  

 

Tujuan pergi ke lapang bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya.  Dalam dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan ilmu geografi, pergi ke lapang dapat ditujukan untuk memperkenalkan beberapa hal yang pernah didiskusikan di dalam kelas atau diceritakan di dalam buku, namun belum pernah dilihat secara langsung. 

 

Pergi ke lapang juga dapat ditujukan untuk memperoleh penjelasan tentang sesuatu hal.  Bahkan, dalam beberapa kasus, seseorang pergi ke lapang dengan tujuan untuk membuktikan benar tidaknya sebuah kejadian.   Namun, apapun tujuan yang ingin dicapai, hakekat pergi ke lapang bagi seorang geograf adalah untuk menghindari adanya keraguan tentang sesuatu yang ingin dipahaminya.  Dalam dunia ilmu pengetahuan, setiap kegiatan riset yang mengandung keraguan akan berakibat pada lemahnya pengakuan terhadap kebenaran dan manfaat riset tersebut.  

 

Banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan “pergi ke lapang”.  Ada yang menyebutnya dengan ekskursi lapang, observasi lapang, kerja lapang, survei lapang, atau penelitian lapang.  Apapun istilah yang digunakan, pergi ke lapang senantiasa terkait dengan kegiatan pencarian (pengumpulan) data, pengamatan fenomena, dan pelaporan hasil.   Oleh karena itu, sebelum pergi ke lapang, seorang geograf harus menentukan dulu hal yang ingin dicari/diamati, lokasi pencarian/pengamatan, cara mencari/mengamati di lapangan, dan bentuk penyajian laporannya.   Bila hal-hal di atas tidak ditentukan sebelum pergi ke lapang, maka akan menimbulkan pemborosan baik dalam hal dana, tenaga, pikiran, dan juga waktu.   Kalaupun ada hasilnya, hasil itu pun akan diragukan kebenarannya karena   tidak sesuai dengan prosedur kerja ilmiah.   Dengan demikian, jangan sekali-kali pergi ke lapang sebelum jelas tujuan ke lapang dan cara mencapai tujuan tersebut.

 

Meskipun dapat melihat pemandangan indah, menghirup udara segar, dan mendapat kenalan baru;  pergi ke lapang tidak selalu menyenangkan.  Kehujanan, kepanasan, kekurangan air bersih, kesulitan transportasi, tidak mengerti bahasa setempat, dan kerinduan akan kenyamanan tidur di rumah adalah beberapa hal yang akan dihadapi selama di lapang.  Oleh sebab itu, selain menuntut persiapan yang berat dan cermat, pergi ke lapang juga menuntut kondisi fisik yang sehat, perbekalan lengkap, kesabaran, serta keuletan.  Kemampuan adaptasi yang tinggi, baik dengan kondisi lingkungan maupun dengan cara hidup setempat, juga menjadi syarat penting.  Semua itu ditujukan untuk tidak mempersulit situasi yang sudah sulit.

 

1.2.  Maksud dan Tujuan

 

Maksud dari Kuliah Kerja Lapang I (KKL 1) ini adalah untuk memperlihatkan kepada mahasiswa beberapa hal yang pernah dibicarakan di kelas sehingga dapat memperjelas materi pembelajaran. Adapun penekanan utama adalah untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengenal, mengamati, mengidentifikasi, dan memetakan persebaran unsur fisik dan sosial di permukaan bumi. 

 

Adapun tujuan dari KKL 1 ini adalah :

1.    Melatih mahasiswa untuk memahami karakteristik gejala fisik dan gejala sosial

2.    Melatih mahasiswa untuk mengidentifikasi gejala fisik dan gejala sosial

3.    Melatih mahasiswa untuk memetakan gejala fisik dan gejala sosial

4.    Melatih mahasiswa untuk mendeskripsikan persebaran gejala fisik dan gejala sosial

 

1.3.  Ruang Lingkup Materi

 

Sesuai maksud dan tujuan di atas, KKL 1 akan mencakup materi kuliah dan obyek kajian

yang berkaitan dengan gejala fisik dan gejala sosial.   Adapun secara lebih rinci, materi dan obyek kajian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

 

a.    Aspek Fisik

a.1  Mencakup materi dan obyek kajian yang berkaitan dengan bentuk medan terutama yang terbentuk secara alamiah. Sehubungan dengan itu, materi geomorofologi akan diarahkan pada meningkatnya pemahaman para mahasiswa terhadap proses pembentukan muka bumi melalui pengamatan terhadap berbagai gejala fisik sehingga dapat mendeskripsikan karakteristik permukaan bumi secara baik

a.2  Mencakup materi atau obyek kajian yang berkaitan dengan karakteristik dan pengaruh air terhadap permukaan bumi.  Sehubungan dengan itu, materi hidrologi diarahkan pada meningkatnya pemahaman mahasiswa terhadap fenomena, sifat, dan distribusi air di permukaan bumi.   

 

b.    Aspek Manusia,

Mencakup materi atau obyek kajian yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam memenuhi hajat hidupnya.  Sehubungan dengan itu, materi geografi manusia diarahkan pada meningkatnya pemahaman mahasiswa terhadap persebaran aktivitas manusia sehingga dapat mendeskripsikan dengan baik perbedaan karakteristik lokasi untuk berbagai aktivitas manusia. 

 

c.       Kartografi

Mencakup materi yang berkaitan pembacaan dan penafsiran peta topografi dan peta geologi dalam memahami berbagai gejala di permukaan bumi, pembuatan/penyiapan peta kerja, serta pembuatan peta tematik.   Materi ini juga termasuk penggunaan alat navigasi (kompas, GPS, busur, dll) baik untuk keperluan orientasi medan maupun penentuan lokasi obyek pengamatan untuk keperluan plotting ke dalam peta. 

 

 

1.4  Metode Pembelajaran

 

1.4.1  Tahap persiapan

 

Tahap persiapan dilaksanakan sebelum berangkat ke lapang dalam bentuk pertemuan kelas sebanyak 8-9 kali tatap muka.  Pada tahap ini mahasiswa menerima pembekalan materi mengenai substansi perkuliahan dan wilayah studi.  Penjelasan substansi perkuliahan mencakup konsep dasar yang berkaitan dengan aspek fisik dan aspek manusia, prosedur kerja lapang, teknik pengamatan dan identifikasi, teknik penyajian hasil, dan penyiapan peta dasar.   Sementara itu penjelasan mengenai wilayah studi meliputi lokasi, karakteristik fisik dan sosial, dan luas wilayah pengamatan.  Seiring dengan pemberian materi pembekalan, juga dilaksanakan pembagian wilayah pengamatan sesuai dengan jumlah kelompok (setiap kelompok terdiri dari 4-5 mahasiswa).  Selanjutnya, setiap kelompok akan menyusun rencana survei lapang untuk mempersiapkan kegiatan di lapang.

 

Hasil dari tahap persiapan ini adalah rencana survey lapang  untuk setiap kelompok yang mencakup:

  1. Peta kerja
  2. Deskripsi singkat wilayah pengamatan (gambaran umum lokasi dan gejala fisik/sosial yang penting)
  3. Penampang melintang, lokasi, dan jalur pengamatan yang akan didatangi/ditempuh sejak hari pertama hingga hari terakhir survey

 

1.4.2  Tahap pelaksanaan

 

Kegiatan di lapang dilaksanakan selama 4 hari yaitu 29 April sampai 2 Mei 2009.   Selama di lapang, mahasiswa akan melakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :

(a)      Memperhatikan, mengidentifikasi, memahami, dan mendeskripsikan secara singkat dan jelas setiap obyek kajian pada lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan.

(b)      Melakukan pengukuran mengenai beberapa gejala tertentu dengan mempergunakan alat pengukuran yang telah disiapkan.

(c)       Memperhatikan, mencatat, dan memahami setiap penjelasan dosen pembimbing.

(d)      Memetakan (plotting) lokasi setiap obyek kajian pada peta dasar/peta kerja yang telah disiapkan terlebih dahulu di kelas.

(e)      Melengkapi catatan survei lapang dan/atau formulir pengamatan yang telah disediakan.

(f)        Menyusun laporan survei lapang sesuai dengan petunjuk dan arahan dari dosen pembimbing.

(g)      Mengikuti diskusi lapang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan untuk menelaah hasil pengamatan serta membahas kendala lapang yang dijumpai oleh masing-masing kelompok.

 

Hasil dari tahap pelaksanaan ini adalah hasil survey lapang setiap kelompok yang mencakup:

1.       Formulir pengamatan/pengukuran, catatan lapang, daftar pertanyaan yang telah terisi lengkap

2.       Peta hasil survey

3.       Foto atau gambar lokasi dan/atau obyek pengamatan

4.       Laporan survey lapang (wilayah studi, lokasi dan obyek pengamatan, pelaksanaan survey, temuan lapang, dan kendala)

5.       Catatan/notulensi diskusi (tanya jawab dan pembahasan)

1.4.3  Tahap penyelesaian

 

Tahap penyelesaian KKL 1 merupakan tahap penyusunan dan penyajian laporan akhir.  Alokasi waktu yang tersedia pada tahap ini adalah selama lebih kurang 4 (empat) minggu.  Penyusunan laporan akhir dilakukan oleh setiap kelompok di bawah bimbingan dosen pembimbing.  Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing, setiap kelompok  akan menyajikan rancangan (draft) laporan akhir dalam sebuah forum seminar.  Berbagai tanggapan, masukan, dan usulan perbaikan dari kelompok lain akan menjadi bahan bagi penyempurnaan laporan akhir KKL 1.  Hasil akhir dari tahap ini adalah buku Laporan Kuliah Kerja Lapang I yang memuat:

 

a.       Abstrak

b.       BAB 1    Pendahuluan

c.       BAB 2  Gambaran/Tinjauan Umum Wilayah Studi

d.       BAB 3    Metodologi Pengamatan/Pengukuran

e.       BAB 4    Hasil dan Pembahasan

f.        BAB 5    Kesimpulan/Penutup

g.       Kelengkapan laporan (peta, foto, kuesioner/daftar pertanyaan, formulir pengamatan, catatan lapang, catatan diskusi/tanya jawab)

 

Dalam rangka penyusunan laporan, setiap kelompok akan dibimbing oleh satu orang dosen. Dosen pembimbing adalah salah satu dosen yang terlibat langsung dalam pembekalan dan survey lapang. Rancangan (draft) laporan KKL I akan dipresentasikan oleh setiap kelompok setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing.  Dalam kegiatan presentasi, akan dilakukan penilaian terhadap

a.       materi presentasi

b.       teknik presentasi

c.       argumentasi, dan

d.       keaktifan.

 

1.5 Bahan dan peralatan

 

Bahan dan peralatan, dalam Kuliah Kerja Lapang I dibedakan menjadi dua yaitu (a) peralatan pribadi,  (b) peralatan praktek lapang, dan (c) peralatan penunjang

 

(a)           Peralatan pribadi antara lain terdiri dari pakaian, sepatu, tas, jas hujan, dan topi lapang; bekal makanan dan obat-obatan; tempat air minum; senter dan baterai; peralatan mandi/cuci; peralatan tidur; dan perlengkapan lainnya sesuai dengan kebutuhan pribadi.  Semua peralatan pribadi dipersiapkan untuk keperluan selama 4 hari 3 malam.

 

(b)           Peralatan praktek lapang terdiri dari:

(1)      Buku panduan, buku catatan, dan alat tulis (pensil, ballpoint, spidol/pensil warna, penggaris, busur derajat, alas tulis, karet penghapus, dsb)

(2)      kertas kalkir, kertas HVS, kertas milimeter blok

(3)      peta topografi dan rupabumi, sekala 1 : 50.000 dan 1 : 25.000,  dan peta geologi sekala 1 : 100.000.

(4)      bahan dan peralatan Geomorfologi, berupa : meteran, kompas, helling, dan altimeter.

(5)      bahan dan peralatan Geologi, berupa : kompas geologi, palu geologi, larutan HCL 10%, pipet, kaca pembesar, kantong plastik bening (untuk sampel batuan)

(6)      bahan dan peralatan Kartografi, berupa : kompas, busur, penggaris, GPS, dll.

(7)      bahan dan peralatan Hidrologi, berupa : meteran, pelampung, pemberat, tali, pengukur kedalaman, current meter, pH meter, DO meter, TSS meter, stop watch, kertas lakmus, cawan pelarut.

(8)      alat pengukur posisi : GPS (Global Positioning System), kompas.

 

(c)           Peralatan penunjang terdiri dari:

(1)      White board/papan tulis dan perlengkapannya (spidol/kapur/penghapus)

(2)      Megaphone atau alat pengeras suara lainnya

(3)      LCD

(4)      Alat komunikasi

(5)      Perlengkapan presentasi (kertas karton, paku payung, double selotip, dsb)

(6)      Perlengkapan P3K

(7)      Kelengkapan administrasi (surat ijin dari aparat pemerintah setempat, surat jalan dari kepolisian, surat keterangan dari Departemen Geografi FMIPA UI, proposal dan jadwal kegiatan, daftar nama dan alamat peserta, dsb)

 

 

1.6 Evaluasi Pembelajaran

 

Evaluasi hasil pembelajaran pada KKL 1 didasarkan pada:

 

1.       Nilai persiapan, yang terdiri dari kehadiran dalam pembekalan materi, pemahaman materi, kesiapan peta dasar/peta kerja, dan penyajian rencana survei lapang.  Bobot nilai persiapan adalah 30%

2.       Nilai pelaksanaan, yang terdiri dari kedisiplinan, keaktifan, kerjasama kelompok, intensitas diskusi dengan dosen pembimbing, kerapihan dan kelengkapan catatan, kelengkapan dan kualitas hasil survei, presentasi dan diskusi kelompok, serta laporan survei lapang.  Bobot nilai pelaksanaan adalah 30%

3.       Nilai laporan akhir, yang terdiri dari kerjasama kelompok, ketepatan waktu penyelesaian laporan, sistematika dan kelengkapan laporan, tingkat kedalaman pembahasan, presentasi dan diskusi, dan tingkat pemahaman materi.  Bobot nilai laporan akhir adalah 40%

 

Nilai akhir dinyatakan dengan huruf A, A-, B+, B, B-, C+, C, C-, D, E, I, dan T sesuai dengan ketentuan Fakultas/Universitas.   Mahasiswa yang mendapatkan nilai C-, D, dan E dinyatakan tidak lulus.

 


BAB 2

 

TINJAUAN UMUM

WILAYAH STUDI KERJA LAPANG I

 

 

              

2.1  Lokasi Wilayah Studi

 

Wilayah studi Kuliah Kerja Lapang I (KKL I) berlokasi di selatan Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Desa Ciwaru, Kecamatan Ciweday, Kabupaten Sukabumi.  Sedikitnya kota yang berkembang menunjukkan bahwa pantai selatan Jawa memiliki dinamika kehidupan yang lebih rendah dibandingkan pantai utara.  Faktor penyebabnya adalah topografi wilayah yang relatif sulit.

 

Diperlukan waktu kurang lebih 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Depok menuju Desa Ciwaru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Wilayah Studi

 

2.2  Kondisi Fisik Wilayah

 

2.2.1  Iklim

 

Seperti halnya wilayah lain di Indonesia, wilayah studi sangat dipengaruhi oleh iklim tropis.  Suhu udara rata-rata berkisar antara 26oC-28oC.  Curah hujan rata-rata tahunan adalah sekitar 2.500 mm.  Jumlah hari hujan terbanyak adalah 23 hari.  Menurut Schimdt Ferguson, ciri-ciri iklim di atas digolongkan sebagai iklim kering. Curah hujan minimum umumnya terjadi pada musim timur (Juli s/d Agustus).  Pada musim ini laut berada dalam kondisi tenang sehingga sangat menguntungkan bagi nelayan. Ikan-ikan pun banyak berkumpul di Teluk Pelabuhanratu.  Sebaliknya, pada musim barat (Desember s/d Maret) akan terjadi angin kencang dan hujan lebat yang disertai dengan ombak besar.    Periode Maret-Mei dan September-Nopember umumnya terjadi musim pancaroba yang dipengaruhi oleh angin utara dan angin selatan. Pada musim pancaroba ini, kondisi laut sulit diperkirakan sehingga kurang menguntungkan bagi nelayan.

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Maringanan dan

hasil studi Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi (2003), kawasan

Pelabuhan Ratu dan sekitarnya memiliki iklim:

 

A. Curah Hujan; rata-rata curah hujan tahunan adalah 2.565 mm, rata-rata curah hujan bulanan adalah 84 – 376 mm. Berdasarkan curah hujan tersebut, musim hujan berlangsung dari bulan November hingga April, dingan 1.662 mm (71%) dari curah hujan bulanannya mencapai 192 mm.

 

B. Temperatur dan Kelembaban Udara; temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,8 – 28,8 0C dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Oktober hingga Maret.

 

C. Kecepatan Angin; kawasan Pelabuhan Ratu dan sekitarnya mempunyai musim (Mansoon Climate) dan pola angin yang dipengaruhi oleh musim Barat dan musim Timur. Secara umum angin biasanya berhembus ke arah Barat – Barat Daya selama musim Timur, selama periode ini angin biasanya sangat kencang dengan kecepatan 20 m/detik. Pada musim Barat angin berhembus ke arah Timur – Tenggara, selama periode ini dan juga selama waktu transisi kecepatan angin bervariasi dari lemah sampai sedang dan jarang mencapai kecepatan 10 m/detik. Hasil data angin di stasiun Maranginan dari tahun 1985 – 1991 diperoleh gambaran bahwa kecepatan angin paling kencang (> 20km/jam) yang bertiup pada bulan Agustus – Desember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari Tenggara (22,6 %) dan Barat (13,6 %).

 

2.2.2  Fisiografi wilayah

 

Secara fisiografi, wilayah studi dapat digolongkan sebagai wilayah pegunungan dengan ketinggian bervariasi antara 0 – 500 m dari permukaan laut.  Morfologinya juga bervariasi mulai dari bentuk medan datar, bergelombang, berbukit, hingga bergunung.  Oleh kerena itu, meskipun terletak di tepi samudera, tidak semua gejala yang terdapat di wilayah studi menunjukkan adanya pengaruh laut.  

 

Variasi fisik wilayah di atas disebabkan oleh bekerjanya aktivitas tektonik, aktivitas vulkanik, perusakan oleh air (pengikisan), dan pengendapan. Aktivitas tektonik berupa pengangkatan menyebabkan terbentuknya perbukitan lipatan, patahan blok, patahan lokal, air terjun, dan juga slenk.  Sementara itu, aktivitas vulkanik menimbulkan mata air panas dan intrusi magma.  Adapun pengikisan dan pengendapan telah membentuk lembah-lembah di lereng perbukitan/pegunungan dan berbagai bentuk endapan baik di pantai maupun di sungai.

 

Mengacu pada Pannekoek (1949), secara fisiografis, wilayah studi KKL 1 termasuk dalam zone selatan dan zone tengah Jawa Barat.  Zone selatan Jawa Barat merupakan jalur fisiografi yang luas dan bersambung mulai dari Nusakambangan di bagian timur hingga Pelabuhan Ratu di bagian barat. Bagian selatan dari zone ini berbatasan dengan Samudera Hindia.  Menurut Van Bemmelen, zone pegunungan selatan Jawa Barat ini dapat dibedakan atas tiga fisiografi utama, yaitu (dari barat ke timur): Plato Jampang, Dataran Tinggi Pengalengan, dan Plato Karangnunggal. Dari morfologinya, zone pegunungan selatan berlanjut hingga pegunungan kapur Rajamandala.  Persambungan dengan zona selatan terjadi ketika Rajamandala mengalami proses pengangkatan dan pelipatan bersama-sama dengan zone tengah Jawa Barat.

 

Zone tengah Jawa Barat berupa wilayah pegunungan lipatan dan wilayah vulkanik di mana muncul kelompok gunung berapi yang besar.  Pada zone ini juga terdapat beberapa wilayah depresi, yaitu lembah Ci Mandiri di bagian barat mulai dari Teluk Pelabuhanratu, depresi Sukabumi-Cianjur, dan depresi Bandung.  Meskipun berupa wilayah depresi, tetapi dataran Sukabumi-Cianjur dan Bandung masih memiliki ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut.  Di bagian barat zone ini terdapat Sektor Banten yang merupakan wilayah pegunungan kompleks di mana terdapat juga dataran tinggi berupa plato yang dikenal dengan nama Plato Bayah.  

 

2.2.3  Jenis batuan

 

Jenis batuan yang mendominasi wilayah kerja adalah berupa endapan permukaan, batuan vulkanik, dan batuan sedimen.  Endapan permukaan (aluvium) dapat berupa endapan sungai maupun endapan pantai yang terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, dan kerakal.  Jenis batuan ini terdapat pada ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut. Endapan pantai banyak ditemukan di beberapa tempat yang berpantai relatif datar seperti di sekitar muara sungai Ciletuh dan Cikandang.

 

Kawasan Ciletuh, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dikenal dalam dunia ilmu geologi merupakan salah satu dari tiga tempat atau lokasi di Pulau Jawa tempat ditemukannya singkapan batuan tertua yang berumur Pra-Tersier yaitu Zaman Kapur sekitar 55 – 65 Juta tahun yang lalu. Dua lokasi lainnya adalah di Karangsambung Kabupaten Kebumen dan di daerah Bayat Propinsi Jawa Tengah.

Dari hasil inventarisasi dapat diuraikan bahwa karakteristik Kawasan Cagar Alam Geologi Ciletuh adalah sebagai berikut :

  1. Kawasan Ciletuh memiliki morfologi bentukan asal struktur, morfologi bentukan asal fluvial, morfologi bentukan asal laut, menempati suatu lembah yang dikelilingi oleh tinggian menyerupai amphyteater yang membuka ke arah Samudera Hindia menunjukan keunikan dan kelangkaan kawasan ini.
  2. Batuan penyusun Kawasan Ciletuh merupakan komplek melange, yang meliputi :
    kerabat ofiolit (kelompok batuan ultra basa), kelompok batuan metamorfik,
    kelompok batuan sedimen laut dalam, kelompok batuan sediment benua.


Semua kelompok batuan tersebut terdapat sebagai bongkah-bongkah beraneka ukuran yang terkurung dalam matriks serpih tergerus, dengan kontak antar blok berupa tektonik yang memperlihatkan singkapan bagus dan jarang ditemukan di tempat lain.

 

  1. Kerabat ofiolit yang ada menunjukan urutan yang tidak lengkap (dismembered ophiolite) merupakan fragmen kecil kerak samudera yang dapat dipakai sebagai bukti proses geologi yang terjadi pada daerah pembenturan penunjaman lempeng samudera (subduksi); dan juga sebagai bukti mata rantai jalur penunjaman berumur Kapur Akhir. (ditempat lain bukti ini jarang sekali ditemukan).
  2. Kerabat ofiolit merupakan susunan petrotektonik perbenturan antar lempeng, sehingga ofiolit berumur tua dapat berfungsi sebagai fosil dalam merekonstruksi jalur penunjaman purba.
  3. Kawasan Ciletuh merupakan kawasan yang memperlihatkan terjadinya pendampingan dua zona yang disusun oleh batuan berasal dari lempeng samudera dan lempeng benua, sehingga kawasan Ciletuh merupakan tempat yang menarik, karena pada satu tempat tersingkap dua penggalan kerak bumi yang sangat berbeda sifatnya.
  4. Kawasan Ciletuh dapat dijadikan sebagai tempat studi petrotektonik bagi pengembangan ilmu geologi, karena ofiolit dapat menjelaskan mekanisme pembentukan prisma akresi melange (proses pembentukan melange).
  5. Kawasan Ciletuh dapat dijadikan sebagai tempat pembelajaran konsep tektonik global baru (new global tectonic) atau tektonik lempeng dengan cara mempelajri fenomena-fenomena yang ada, yaitu fenomena petrologi, asal muasal kerabat ofiolit, struktur kerabat ofiolit, status geotektonik, evolusi tektonik Jawa Barat.
  6. Aspek penunjang berupa terdapatnya flora dan fauna langka serta hamparan pantai yang memunculkan singkapan batuan serta unsur geologi lainnya dengan panorama yang indah, menambah nilai langka, unik dan khas yang perlu dilindungi di kawasan ini.
    Kawasan Ciletuh yang merupakan kawasan berkarakter perbukitan bergelombang hingga landai, memiliki pantai yang indah dengan hamparan pasir putih, karena terdiri atas pasir kuarsa. Deburan ombak yang bagus dan air yang jernih menghadap Samudera Hindia. Kawasan Ciletuh dibagi menjadi tiga blok dari utara ke selatan, yakni Blok Gunung Badak, Blok Citisuk-Cikepuh, dan Blok Citirem-Cibuaya.

1.      Blok Gunung Badak;


Blok ini berada di bagian paling utara KCAG Ciletuh. Lokasinya dapat dicapai melalui jalan darat dan laut. Jalan darat dengan rute Sukabumi – Bagbagan (palabuhanratu) – Ciemas – Cikadal atau Ciwaru dengan jarak tempuh ± 100 km. Kondisi jalan dari Bagbagan sampai dengan Ciwaru dapat dilalui minibus atau Elf. Dari Ciwaru dilanjutkan dengan roda dua melewati Sungai Cikadal, sedangkan jalan laut dengan motorboat atau perahu.


Yang termasuk Blok Gunung Badak termasuk pulau-pulau kecil seperti P. Manuk, Pulau Mandra, Pulau Kunti, dan Karang Haji, dengan luas Blok Gunung badak sekitar 1.375 km². Gunung Badak merupakan bukit dengan ketinggian 153 m dpl. Memperlihatkan tiga jalur punggungan yang memancar dari puncaknya masing-masing ke arah barat laut, utara, dan selatan yang masing-masing tersusun oleh komposisi batuan yang berbeda.

Batuan tertua yang tersingkap di Gunung badak adalah kerabat ofiolit (peridotit, gabro, lava, basalt). Kelompok batuan tersebut merupakan batuan yang berasal dari erupsi pematang tengah samudera (mid oceanic ridge), kelompok batuan ini bukan merupakan intrusi, melainkan berupa alokhton (bongkah besar yang berasal dari tempat lain) yang tersingkap secara tektonik karena pengaruh pergerakan lempeng samudera yang bertumbukan dengan lempeng benua. Selanjutnya pada zona tumbukan tersebut dihasilkan batuan metamorfik seperti filit, amfibolit, sekis, dan serpentinit. Pada daerah tersebut juga dicirikan oleh adanya batuan sedimen laut dalam yaitu graywacke, batugamping, rijang, dan serpih. Secara setempat komplek batuan ini diterobos oleh gabro berupa dike.


Sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi, Blok Gunung Badak dibagi menjadi 4 (empat) zona inti, dengan zona inti 1 seluas 1,229 km², zona inti 2 seluas 0,107 km², zona inti 3 seluas 0,106 km², dan zona inti 4 seluas 0,102 km², dengan zona penyangga seluas 2.399 km²

 

2.      Blok Citisuk – Cikepuh


Blok ini terletak di bagian tengah rencana KCAG Ciletuh, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan kendaraan roda empat sampai dengan Ciemas, dan dilanjutkan dengan roda dua. Dapat pula ditempuh dengan jalur laut dari muara Sungai Cikadal hingga ke muara Sungai Cikepuh. Geomorfologi berupa perbukitan bergelombang dengan ketinggian antara 50 s/d 250 m dpl. Batuan Pra-Tersier berupa batuan basa, ultra basa, dan metamorfik, lava basalt, gabro, peridotit, dan sekis yang tersingkap di Gunung Beas, Pasir Luhur, dan aliran Sungai Citisuk.


Di Gunung Beas biasa disebut Formasi Ultra basa karena litologinya didominasi oleh peridotit dan dunit, sementara di Pasir Luhur disebut Formasi Metamorfik karena didominasi oleh sekis. Sedangkan batuan Tersier terdiri atas batupasir kuarsa dengan sisipan tipis batubara, serpih dan konglomerat kuarsit, merupakan daerah yang ideal untuk mempelajari sikuen lingkungan pengendapan dari model fluviatil hingga laut dalam, chanel dan turbidit.

 

Blok Cikepuh-Citisuk-Cikopo terdapat empat zona inti dengan zona inti 1 seluas 1,934 km², zona inti 2 seluas 9,039 km², zona inti 3 seluas 2,458 km², zona inti 4 seluas 1,862 km², dengan zona penyangga selua 13,247 km².

 

3.      Blok Citireum – Cibuaya


Blok ini terletak di bagian selatan rencana KCAG Ciletuh, dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dari Pelabuhan ratu sampai dengan Cibuaya, dilanjutkan dengan roda dua. Blok Citireum – Cibuaya termasuk Kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh – Citireum di bawah pengawasan BKSDA Cijaringao. Secara geomorfologi blok ini merupakan perbukitan landai dengan ketinggian 250 m dpl. Aliran Sungai Citirem dan Sungai Cibuaya mengalir ke arah barat bermuara di Teluk Amuran. Lembah yang terbentuk oleh kedua aliran sungai tersebut berbentuk U, yang menandakan proses erosi ke arah lateral lebih dominan.


Geologi daerah Blok Citireum – Cibuaya terdiri atas lava Basalt yang berumur Pra-Tersier. Lava Basalt dicirikan oleh struktur aliran lava, sebagian membreksi, setempat amigdaloid yang diisi kuarsa dan zeolit dan sedikit ubahan hidrotermal. Satuan ini seolah-olah mengapung dalam satuan batulempung dan filit yang tergerus sebagai masa dasar. Kenampakan lava basalt sebagian berupa lava bantal, yang telah mengalami deformasi, terdapat breksi sesar dan milonitisasi. Selanjutnya batuan di atas ditutupi oleh batupasir kuarsa dengan sisipan tipis batubara, sedikit batugamping terumbu yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal.


Secara keseluruhan Kawasan Ciletuh telah mengalami proses pencampur adukan batuan, baik melalui aktifitas tektonik maupun sedimenter, yang masing-masing disebut melange tektonik dan mélange sedimenter (olitstostrom). Melange tektonik terdiri atas batuan basa dan ultra basa (ofiolit) yang berumur Pra-Tersier, sedangkan Formasi Ciletuh bagian bawah termasuk mélange sedimenter.


Setelah mengalami proses tektonik yang merubah berbagai kondisi lingkungan pengendapan, maka akhirnya daerah Ciletuh menjadi daratan pada Plio-Plistosen. Sedangkan proses terjadinya singkapan dalam bentuk ampyiteater adalah akibat longsoran besar yang dipicu terutama oleh tektonik, yang menyebabkan batuan yang menutupinya yaitu Formasi Jampang bergerak ke arah laut. Selanjutnya ditinjau dari aspek perlindungan, Kawasan Ciletuh sejak zaman Belanda telah dikenal sebagai hutan lindung dan dikenal sebagai Suaka Margasatwa Cikepuh, merupakan bagian dari ekosistem hutan pantai. Beberapa panorama alam seperti pantai putih, terumbu karang, dan teluk (Ciletuh dan Amuran) serta tanjungTanaya dan Amuran. Olah raga selancar dapat dilakukan di pantai antara Citirem – Cibuaya ke arah Ujung Genteng. Pantai Pasir Putih merupakan habitat tempat bertelurnya penyu hijau, berbagai jenis flora dan fauna langka masih dijumpai di kawasan Ciletuh.


Dalam rangka penetapan KCAG Ciletuh perlu adanya koordinasi dengan berbagai pihak dan diantaranya dengan TNI AL Marinir, mengingat daerah sekitar G. Badak merupakan tempat latihan militer, serta BKDA Jabar I mengingat Daerah Ciletuh merupakan Suaka Margasatwa dan Cagar Alam. Dengan demikian penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi lebih ditujukan khusus kepada pengembangan ilmu alam (geoscience) baik geologi, biologi, serta wisata minat khusus yang tidak akan merubah kondisi alam daerah tersebut.


Pada Blok Citireum ini terdapat dua zona inti dengan Zona inti 1 seluas 2,286 km², penyangga 1 seluas 2,442 km², zona inti dua seluas 2,519 km², zona penyangga 2 seluas 2,677 km².

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Peta Geologi

 

2.2.4  Dataran Tinggi

 

Plato Jampang dan Plato Bayah merupakan dua dataran tinggi yang termasuk dalam wilayah studi. Dinding utara Plato Jampang berbatasan dengan slenk Ci Mandiri yang menghadap ke Teluk Pelabuhanratu, sedangkan bagian selatannya menghadap Samudera Hindia. Slenk Ci Mandiri merupakan tempat terdapatnya Kota Pelabuharatu yang merupakan ujung paling barat dari wilayah depresi di zone tengah.  Dari Pelabuhanratu, wilayah depresi melengkung ke arah timur mengikuti lembah Ci Mandiri, berlanjut ke dataran Cianjur-Sukabumi di mana terdapat kemunculan puncak-puncak vulkanik G. Gede dan G. Pangrango. Selanjutnya terus mengarah ke timur menuju cekungan Bandung hingga berakhir di muara Ci Tanduy (Segara Anakan). 

 

Secara geologis, Plato Jampang terdiri dari breksi andesit, tuf putih, dan batuan pasir yang menutupi permukaan plato.  Puncak tertinggi dari plato ini adalah G. Malang yang merupakan intrusif andesit.  Karena tuf putih bersifat poros, di plato ini banyak ditemukan tebing-tebing pantai (cliff). Plato Jampang dapat dikatakan memiliki permukaan yang masih utuh atau belum banyak terganggu oleh erosi. Pada bagian barat dayanya ditemukan pola lembah yang sejajar dengan garis pantai yang menunjukkan bahwa pembentukan lembah atau alur sungai tersebut terjadi sebelum pengangkatan. 

 

Sementara itu, secara fisiografis Plato Bayah termasuk dalam wilayah pegunungan lipatan bagian barat atau Sektor Banten di mana terdapat puncak Halimun dan Sanggabuana.  Lereng bagian selatannya menurun ke arah lautan secara bertingkat-tingkat (step-wise).   Permukaan Plato Bayah telah terkikis kuat yang dicirikan oleh adanya lembah-lembah yang dalam.   Terdapat dugaan kuat bahwa kegiatan vulkanik telah muncul sebelum terbentuknya lembah-lembah tersebut.  Lembah-lembah itu pun diperkirakan telah terbentuk sebelum terjadinya pengangkatan.

 

 

2.2.5  Jaringan Sungai    

 
Sungai terbesar di wilayah studi adalah Ci Letuh dan bermuara di Teluk Ciletuh.  Anak-anak sungai yang mengalir dari arah selatan (perbukitan) menuju bagian utara (Samudera Hindia). Sungai-sungai yang ada di wilayah studi seperti Ci Letuh, Ci Kanteh, dan beberapa sungai lainnya  masih dapat digunakan baik sebagai sumber air bersih penduduk maupun untuk irigasi.  Oleh karena itu tidak mengherankan apabila banyak dijumpai persawahan di tepi aliran sungai, terutama pada wilayah-wilayah datar di dekat muara.

 

Sungai-sungai di wilayah studi mengalir di atas lembah sinklinal, lembah hasil pengikisan, batuan-batuan lunak, atau mengikuti lereng-lereng patahan.   Pada beberapa tempat, seperti di aliran Ci Haur, terdapat air terjun yang terbentuk akibat adanya patahan.  Sementara itu, di Ci Solok terdapat mata air dan semburan air panas yang dapat dihubungkan dengan aktivitas vulkanik G. Halimun.  

 

2.2  Kehidupan Penduduk

 

Bagi penduduk setempat, berbagai bentukan fisik di atas telah membuka banyak kemungkinan untuk melakukan aktivitas.  Meskipun terletak di pesisir, kehidupan nelayan bukanlah pola kehidupan yang mendominasi wilayah studi.  Hal ini antara lain disebabkan tidak semua pantai dapat didarati oleh perahu nelayan akibat banyaknya tebing pantai. Oleh sebab itu, kampung-kampung nelayan pun umumnya terdapat di pantai-pantai datar yang berombak tenang, seperti di Teluk Pelabuhanratu dan muara Ci Letuh.  

 

Antara Pelabuhanratu – Ciletuh juga ditemukan atraksi wisata yang mampu mengundang kehadiran wisatawan lokal dan mancanegera.  Pada beberapa desa, kehadiran wisatawan memberikan dampak pada pola kehidupan penduduk. Daya tarik utama kegiatan wisata di wilayah studi adalah panorama alam pesisir Samudera Hindia dan dataran tinggi Jawa bagian selatan.  Sementara itu, aktivitas wisata yang banyak terdapat antara lain adalah wisata pantai, selancar air, arung jeram, pemandian air panas, perkemahan, dan penjelajahan hutan.  Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, di sepanjang jalan utama banyak terdapat hotel berbintang, losmen, rumah makan, dan tempat/fasilitas wisata lainya.  Kegiatan-kegiatan usaha tersebut menjadi salah satu mata pencaharian alternatif bagi penduduk setempat. 

 

Sebagian besar penduduk di wilayah studi bekerjanya pada bidang pertanian. Sawah irigasi banyak ditemukan pada muara-muara sungai besar, dataran banjir, dan wilayah endapan lainnya.  Sementara, sawah tadah hujan terdapat pada wilayah yang lebih tinggi.  Selain itu, lereng bukit/pegunungan dan tempat-tempat di mana air sulit didapat, banyak diusahakan penduduk sebagai pertanian tanah kering (perkebunan, tegalan, kebun campuran. Pada pusat-pusat keramaian, seperti di Kota Pelabuhanratu dan kota-kota kecamatan, penduduk yang bekerja pada bidang perdagangan, jasa, dan pemerintahan relatif lebih besar dibandingkan tempat lainnya.  Sebagian kecil penduduk juga ada yang bekerja pada bidang industri kecil dan kehutanan.  Walau tidak terlalu ramai, aktivitas lalu lintas yang ditunjang oleh jaringan jalan aspal telah membuat suasana kehidupan semakin bergairah.  Namun demikian, pola-pola kehidupan tradisional masih tetap mendominasi.  

 

 

BAB 3

KARAKTERISTIK PERMUKAAN BUMI

 
 
3.1. Karakteristik Fisik

 

3.1.1  Stuktur Kulit Bumi

 

Kajian para ahli geologi menyebutkan bahwa bagian fisik bumi mulai dari permukaan sampai dengan kedalaman 100 km di bawah permukaan disebut dengan litosfer.  Ditinjau dari kenampakkkan luarnya, permukaan bumi terdiri dari daratan dan lautan yang mana luas lautan mencapai lebih kurang 70% dari luas permukaan bumi. Baik daratan maupun lautan, tersusun dari berbagai jenis batuan yang membentuk kerak samudera (oceannic crust) dan kerak daratan (continental crust).   Kedua kerak tersebut memilik sifat padat yang lebih rendah dibandingkan batuan di atasnya. Kerak samudera memilik ketebalan 5-10 km yang tersusun atas batuan basalt dengan kepadatan 3 gram/cm3.  Sementara itu, kerak daratan memiliki ketebalan 20-70 km yang didominasi oleh granit dengan kepadatan 2,7 gram/cm3. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3.  Struktur Kulit Bumi

(Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny)

 

Kedua kerak tersebut tersusun atas beberapa lempeng tektonik yang mengambang di atas mantel.  Adanya arus konveksi yang berlangsung di dalam mantel, menyebabkan terjadinya pergerakan lempeng. Pergerakan tersebut tidak saja terjadi secara horisontal (bergeser), tetapi  juga secara vertikal (naik-turun).  Pergerakan secara vertikal disebut juga sebagi isostacy, yaitu seperti halnya pergerakan es batu di permukaan air.  Bila mendapatkan tekanan, es batu akan tenggelam. Tetapi jika tekanan dihilangkan, es batu tersebut akan mengambang kembali.  Tidak jarang pergerakan tersebut menimbulkan benturan atau tabrakan antar lempeng. Pergerakan naik turun, pergeseran, dan benturan tersebut menyebabkan zone-zone gempa bumi, pegunungan, dan vulkanisme pada permukaan bumi.

 

3.1.2.  Batuan

 

Batuan adalah penyusun utama kulit bumi. Batuan yang mengalami pelapukan akan berubah menjadi tanah. Dari jenisnya batuan-batuan tersebut dapat digolongkan menjadi 3 jenis golongan. Mereka adalah : batuan beku (igneous rocks), batuan sediment (sedimentary rocks), dan batuan metamorfosa/malihan (metamorphic rocks). Batuan-batuan tersebut berbeda-beda materi penyusunnya dan berbeda pula proses terbentuknya.

 

Sebagian besar batuan mengandung mineral.  Mineral adalah elemen anorganik yang memiliki struktur dan komposisi kimia tertentu. Elemen-eleman utama yang ditemukan di kulit bumi disajikan pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Elemen-elemen anorganik pembentuk mineral

 

 Elemen

Simbol kimia

Kandungan di kulit bumi (%)

 Oxygen

 O

 46.60

 Silicon

 Si

 27.72

 Aluminum

 Al

 8.13

 Iron

 Fe

 5.00

 Calcium

 Ca

 3.63

 Sodium

 Na

 2.83

 Potassium

 K

 2.59

 Magnesium

 Mg

 2.09

Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny

 

Saat ini telah para ahli telah mengidentifikasi lebih dari 2000 jenis mineral yang terdapat di muka bumi.   Mineral-mineral tersebut diklasifikasikan ke dalam 9 kelompok, yaitu :

 

 

Tabel 2.  Klasifikasi beberapa mineral penting pada batuan

 

Kelompok

Jenis Mineral

Rumus Kimia

1. Elements

Gold

Au

Silver

Ag

Copper

Cu

Carbon (Diamond & Graphite)

C

Sulfur

S

2. Sulfides

Cinnabar

HgS

Galena

PBS

Pyrite

FeS2

3. Halides

Fluorite

CaF2

Halite

NaCl

4. Oxides

Corundum

Al2O3

Cuprite

Cu2O

Hematite

Fe2O3

 

Lanjutan Tabel 2

5. Carbonates
    (Nitrates & Borates)

Calcite

CaCO3

Dolomite

CaMg(CO3)2

Malachite

Cu2(CO3)(OH)2

6. Sulfates

Anhydrite

CaSO4

Gypsum

CaSO4 -2(H2O)

7. Phosphates
    (Arsenates, Vanadates,

    Tungstates, &

    Molybdates)

Apatite

Ca5(F,Cl,OH)(PO4 )

8. Silicates

Albite

NaAlSi3O8

Augite

(Ca, Na)(Mg, Fe, Al)(Al, Si)2O6

Beryl

Be3Al2(SiO3)6

Biotite

K (FE, Mg)3AlSi3O10(F, OH)2

Hornblende

Ca2(Mg, Fe, Al)5(Al, Si)8O22(OH)2

Microcline

KAlSi3O8

Muscovite

KAl2(AlSi3O10)(F, OH)2

Olivine

(Mg, Fe)2SiO4

Orthoclase

KAlSi3O8

Quartz

SiO2

9. Organics

Amber

C10H16O

Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny

 

Proses pembentukan bantuan terjadi secara alamiah sebagai akibat dari proses dasar geologi yang meliputi pembekuan magma, pengendapan hasil pelapukan, dan metamorfosis (Bagan 1). 

 

Bagan 1. Siklus Batuan

(Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Berkaitan dengan proses di atas, batuan yang terdapat di kulit bumi dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Batuan beku, terjadi ketika lelehan magma dari dalam perut bumi bergerak menuju ke permukaan bumi mengalami pembekuan akibat adanya perbedaan suhu.  Lelehan magma yang membeku sebelum muncul ke permukaan bumi akan membentuk batuan beku dalam (intrusive atau plutonic igneous rocks).  Sedangkan lelehan magma yang membeku setelah muncul ke permukaan bumi akan membentuk batuan beku luar (extrusive atau volcanic rocks).  Karena batuan beku dalam mengalami pembekuan yang lebih lambat, maka kristalnya akan lebih padat dan lebih besar. 
  2. Batuan endapan, merupakan hasil dari proses pengendapan, pemadatan, dan perubahan kimiawi materi hasil-hasil pelapukan batuan beku, batuan metamorf, ataupun batuan endapan.  Proses di atas menyebabkan terbentuknya butiran baik yang berukuran besar maupun kecil. Susunan butiran pada batuan endapan dapat berlapis-lapis, tetapi dapat juga tidak.  Pada batuan endapan tidak terbentuk kristal. 
  3. Batuan metamorf, berasal dari batuan endapan yang mengalami perubahan sifat akibat pengaruh tekanan yang kuat dan suhu yang tinggi.  Salah satu ciri batuan metamorf adalah tidak memiliki kristal.

 

3.1.3  Proses-proses pembentukan bentang alam

Pada tahun 1983, William Whewell memperkenalkan istilah uniformitarianism.  Teori  uniformitarian ini menyatakan bahwa bentang alam yang terdapat di muka bumi terbentuk melalui berbagai proses geologis dan geomorfologis yang berjalan secara bertahap dalam jangka waktu yang sangat lama. Teori ini menolak pendapat sebelumnya yang mengemukakan bahwa bumi dibentuk oleh adanya kekuatan supranatural yang mendorong timbulnya serangkaian kejadian luar biasa atau bencana besar (Teori catastrophic)

Secara umum, terdapat 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya proses pembentukan muka bumi, yaitu tenaga pembangun dan tenaga perusak.   Karena pembentukan muka bumi merupakan salah satu gejala alamiah yang senantiasa menuju pada keseimbangan, maka sebuah kekuatan pembangun sesungguhnya juga melakukan perusakan. Demikian juga sebaliknya.  Oleh karena itu, penggolongan kekuatan ke dalam dua jenis tenaga di atas tidak selamanya dapat dibedakan secara tegas. 

 

Penggolongan kekuatan pembentuk muka bumi dapat juga didasarkan atas kedudukan sumber kekuatan tersebut terhadap permukaan bumi.  Dengan demikian dikenal adanya tenaga endogen dan tenaga eksogen.  Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari bawah permukaan bumi.  Tenaga endogen menyebabkan terjadinya berbagai proses yang berdampak pada perubahan permukaan bumi.  Proses yang disebabkan tenaga endogen ini mencakup proses vulkanik (proses bergeraknya magma menuju ke muka bumi) dan proses diastrofisme (pergeseran permukaan bumi akibat aktivitas tektonik).  Proses-proses tersebut menyebabkan timbulnya variasi kondisi morfologi dan geologi antara berbegai tempat dipermukaan bumi.   Bentuk-bentuk fisik seperti dataran, plato, pegunungan, komplek gunung api, patahan, lipatan merupakan hasil proses-proses endogenik.

 

Sementara itu, tenaga-tenaga yang berasal dari luar kulit bumi dapat berupa angin, air, pencairan es, dan gelombang laut.  Kesemua tenaga tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, baik pada skala makro maupun mikro. Sesuai dengan tenaga-tenaga tersebut, dikenal adanya proses aeolian, fluvial, glasial, dan marin.  Bekerjanya tenaga-tenaga eksogen menimbulkan berbagai gejala di permukaan bumi, yaitu: 

  1. Gejala pecahnya batuan (disintergrasi) atau berubahnya komposisi kimia batuan (dekomposisi) baik akibat mekanisme fisik, kimia, maupun biologi.  Gejala ini dikenal sebagai pelapukan. Berdasarkan faktor penyebabnya, pelapukan dapat dibedakan menjadi:

a)      Pelapukan akibat mekanisme fisik dapat terjadi antara lain akibat pelepasan tekanan, perbedaan suhu, dan pembentukan kristal. 

b)      Pelapukan akibat mekanisme kimia dapat disebabkan antara lain oleh proses hidrolisa, oksidasi, reduksi, dan reaksi karbon. Faktor pengendali pelapukan kimiawi adalah iklim.  Pada wilayah beriklim tropis, laju pelapukan kimiawi bisa mencapai 3-5 kali lebih besar dibandingkan di wilayah beriklim sedang.

c)       Pelapukan akibat mekanisme biologi terjadi akibat dari aktivitas bakteri, tumbuhan, atau pun hewan.   Beberapa organisme yang hidup di bawah tanah dapat melepaskan substansi organik yang kemudian menimbulkan dekomposisi batuan.

  1. Gejala pengikisan, yaitu terlepas dan terangkutnya permukaan tanah, endapan, atau batuan akibat kekuatan aliran air permukaan, arus laut, angin, atau glasial.
  2. Gejala agradasi atau proses pengendapan bahan-bahan hasil pengikisan.  Pada dasarnya pengendapan akan terjadi bila daya angkut sudah sangat rendah.  Bila pembawanya air, daya angkut akan ditentukan oleh volume air dan kemiringan lereng.

 

Berlangsungnya berbagai gejala di atas sangat bervariasi pada setiap tempat yang disebabkan oleh perbedaan tipe/jenis batuan, kedudukan batuan, kondisi iklim, topografi, keberadaan vegetasi, dan kondisi tanah.

 

Setiap tenaga yang terlibat dalam proses pembentukan muka bumi pada dasarnya merupakan bagian dari sistim alam.  Sebagai sebuah sistim, pembentukan muka bumi membentuk sebuah proses, seperti ditunjukkan oleh Bagan 2. Berdasarkan bagan tersebut terlihat bahwa gejala tektonik, pelapukan, erosi, dan pengendapan, bahkan hingga pembentukan magma merupakan gejala yang saling terkait.  Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk permukaan bumi merupakan hasil berbagai proses yang melibatkan beberapa gejala/peristiwa baik yang terjadi secara bersamaan maupun bergantian.

 

Bagan 2. Proses Pembetukan Muka Bumi

(Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny)

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


3.1.4  Penggolongan muka bumi

 

Sandy (1985:71) menyatakan bahwa berdasarkan pada dampak aliran air, permukaan bumi dapat digolongkan atas wilayah endapan dan wilayah kikisan.  Dalam hal ini wilayah endapan tidaklah sama dengan dataran rendah.  

 

Wilayah endapan memiliki ketinggian kurang dari 7 meter di atas permukaan laut. Selain berketinggian rendah, wilayah ini juga tidak berlereng atau relatif datar yang menyebabkan air mengalir sangat lambat.  Oleh karenanya, berbagai material yang diangkut oleh aliran air akan diendapkan pada wilayah ini.   Bentuk-bentuk fisik yang banyak ditemukan pada wilayah endapan antara lain adalah delta, tanggul sungai, tanggul pantai, beting, gosong, meander, sungai mati, rawa, muara sungai lebar, dan laguna.

Di atas wilayah endapan terdapat wilayah kikisan.  Sesuai dengan namanya, wilayah kikisan adalah bagian permukaan bumi di mana kecepatan aliran air masih dapat mengikis permukaan bumi.  Berdasarkan ketinggiannya dari permukaan laut, wilayah kikisan dapat dibedakan atas dataran rendah (7-100 m), dataran berketinggian menengah (100 – 500 m), dan dataran tinggi (lebih dari 500 m).

 

Bentuk muka bumi yang memiliki ketinggian lebih dari 500 meter dan kemiringan lereng lebih dari 30%, umumnya digolongkan sebagai pegunungan.  Sesuai dengan ketinggiannya, pegunungan dapat dibedakan menjadi pegunungan rendah, pegunungan sedang, dan pegunungan tinggi.  Beberapa pegunungan rendah seringkali dicirikan dengan struktur batuan tua yang telah mengalami banyak erosi.   Selain pegunungan dan dataran, ada juga permukaan bumi yang digolongkan sebagai plato.  Meskipun bentuknya relatif datar, namun plato tidak berasosiasi dengan shield dan platofm.  Plato merupakan sisa hasil erosi pegunungan.  Plato memiliki ketinggian lebih tinggi dari pada dataran tinggi, namun lebih rendah dari pada pegunungan.  Selain sisa erosi, plato juga dapat terbentuk sebagai hasil patahan (block faulting)

 

Bila dikaitkan dengan Bagan 2, bentuk permukaan bumi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu

a)      Structural Landforms terbentuk sebagai akibat dari pergerakan massa permukaan bumi yang berkaitan dengan aktivitas (pergeseran) lempeng tektonik. Menghasilkan bentuk-bentuk permukaan bumi antara lain sebagai berikut : gunung api, pegunungan,

b)      Weathering Landforms – terbentuk sebagai akibat dari pengaruh lingkungan yang memungkinkan berlansungnya proses kimia dan fisika sehingga menyebabkan terjadinya dekomposisi kimia dan pecahnya batuan. Meliputi bentuk-bentuk antara lain sebagai berikut: karst, profil tanah.

c)       Erosional Landforms – terbentuk akibat terlepas dan terangkutnya/berpindahnya material-material permukaan hasil pelapukan ke tempat lain baik  karena tenaga angin, air, glasial, hantaman gelombang, maupun gaya gravitasi. Bentuk-bentuk yang terjadi antara lain berupa lembah sungai dan tebing pantai.

d)      Depositional Landforms – terbentuk sebagai akibat dari proses pengendapan berbagai material hasil pelapukan dan erosi.  Selama proses pengendapan, material-material tersebut juga mengalami tekanan, pemanasan, dan proses-proses kimia lainnya sehingga membentuk batuan sedimen.  Hasil dari proses ini antara lain berupa: pantai, delta, dataran banjir, dsb

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4. Berbagai  bentuk gejala fisik

 

 

3.1.5  Sungai

 

Air hujan yang jatuh dipermukaan bumi antara lain dapat membentuk aliran permukaan (limpasan) atau terserap oleh tanah membentuk aliran air tanah (perkolasi).  Limpasan memiliki daya gerak dan daya angkut yang tinggi. Kecepatan dan daya angkut limpasan dipengaruhi oleh kemiringan dan kekasaran permukaan bumi.  Selain dapat menyebabkan banjir, limpasan juga dapat “mencacah” permukaan bumi dengan membentuk parit-parit bekas aliran. 

 

Sungai terbentuk sebagai akibat kikisan oleh aliran air permukaan.  Aliran air tersebut mengikis batuan dan meninggalkan bentuk fisik berupa lembah.  Dasar lembah adalah tempat yang paling rendah dibandingkan lingkungan sekitarnya.  Oleh karena itu, bila terjadi hujan, lembah menjadi tempat berkumpulnya air.  Karena adanya gaya gravitasi, air yang berkumpul pada suatu lembah akan mengalir ke daerah yang lebih rendah.  Ketika mengalir, proses pengikisan oleh air akan terus berlangsung, membentuk sungai-sungai besar di dataran rendah dan mengalir masuk ke laut.   

 

Umumnya sungai terbagi atas mata air, batang sungai, dan muara.  Mata air adalah sumber air bagi sungai sekaligus tempat sungai berawal.  Batang sungai adalah alur tempat air mengalir. Mata air dan batang sungai di dekatnya disebut sebagai hulu sungai Tidak semua sungai bersumber dari mata air.  Mencairnya salju pada puncak-puncak gunung es juga dapat menjadi sumber air bagi sungai.. Muara adalah tempatnya berakhirnya aliran di mana air masuk ke laut.  Oleh karena itu, batang sungai di dekat laut tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari muara karena aliran air masih belum berakhir.   Bentuk muara bermacam-macam.  Apabila aliran sungai bertemu dengan laut dengan perbedaan pasang surut besar, akan terbentuk muara sungai yang lebar. Muara sungai yang lebar disebut juga dengan “estuaria”.   Apabila bertemu dengan laut yang tenang, pada muara sungai akan terbentuk endapan yang disebut “delta”.   

 

Dalam pembentukan muka bumi, sungai berperan dalam proses pengikisan, pengangkutan, dan pengendapan.  Pengikisan oleh air dapat berlangsung secara vertikal dan horisontal.  Pengikisan vertikal menyebabkan lembah semakin dalam sehingga menyerupai bentuk huruf V, sedangkan pengikisan horisontal menyebabkan lembah semakin lebar seperti huruf U.  Lembah berbentuk V sering diasosiasikan dengan sungai muda, sedangkan lembah berbentuk U diasosiasikan dengan sungai dewasa.

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 5.  Berbagai bentuk lembah sungai

(Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny)

 

Tidak semua lembah terisi dan dialiri air sepanjang waktu.  Lembah di dekat puncak gunung umumnya hanya terisi saat pada saat hujan.  Agak jauh dari dari puncak gunung di mana terdapat banyak mata air, lembah-lembahnya memungkinkan terisi air sepanjang waktu. 

 

Aliran air dari beberapa lembah dapat bergabung atau bertemu hingga membentuk aliran yang lebih besar.  Lembah aliran besar ini merupakan sungai utama. Sedangkan lembah-lembah yang lebih kecil di sekitarnya dan masih berhubungan dengan sungai utama merupakan anak sungai atau cabang sungai. Keseluruhan sungai utama beserta anak-anak sungai dan daratan yang menumpahkan air hujan ke sungai utama tersebut sering disebut sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS).  Jadi, dalam suatu DAS akan terjadi penangkapan air hujan untuk kemudian ditampung, disimpan, dan dialirkan melalui sungai utama dan cabang-cabangnya hingga berakhir pada titik keluar (oulet) tunggal.  Dalam bahasa asing, DAS sering disebut dengan river basin atau catchment area. 

 

Ketinggian dan kecepatan aliran air pada sungai dapat berubah menurut waktu.  Ketinggian muka air sungai ditentukan oleh curah hujan yang jatuh pada DAS, morfologi DAS, kondisi geologi DAS, serta jenis dan keberadaan vegetasinya.  Sementara itu, kecepatan aliran sungai ditentukan oleh lereng rata-rata batang sungai pada panjang tertentu, jenis material penyusun dasar sungai, dan ada tidaknya tanaman air di dasar atau permukaan  sungai.

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 7. Berbagai pola kecepatan aliran sungai

(Sumber: Fakultas Geografi, UGM)

 

 
 

 

 


Sungai dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dengan sifat lembahnya. Apabila sungai tersebut mengalir pada lembah aslinya atau lembah yang pertama kali terbentuk disebut dengan sungai konsekuen.  Namun, bila sungai mengalir pada lembah yang belum lama terbentuk akibat pengikisan, maka disebut dengan sungai resekuen. Bila batuan yang dilalui memilki kekerasan yang sama, percabangan sungai akan membentuk aliran ke segala arah. Sungai demikian dikelompokkan sebagai sungai insekuen.  Selain itu ada juga aliran sungai yang tidak mengikuti lereng aslinya, namun justru membentuk aliran di atas lapisan batuan yang paling lunak. Sungainya dikenal sebagai sungai subsekuen.  Adapun sungai yang mengalir berlawanan arah dengan sungai konsekuen dan kemudian (umumnya) bermuara ke sungai subsekuen dikelompokkan sebagai sungai obsekuen.  Sementara itu, sungai yang mengalir tegak lurus dengan sungai konsekuen disebut dengan sungai inkonsekuen.

 

Beberapa sungai secara bersamaan juga akan membentuk pola aliran. Pola aliran sungai dapat berbeda-beda pada setiap tempat tergantung pada sifat batuan dan topografi.  Beberapa pola aliran yang dapat terbentuk adalah:

a)      Rectangular – antara satu sungai dan sungai lainnya membentuk sudut tegak lurus. Umumnya terdapat pada patahan dengan jenis batuan kristalin

b)      Anular – sungai utama membentuk pola melingkar.  Terbentuk pada cembungan (dome).  Apabila pengikisan terus berlanjut, pola aliran dapat berubah menjadi radial. 

c)       Trelis – pola aliran seperti susunan batu bata.  Dapat terbentuk di sinklinal sejak lipatan terbentuk pertama kali atau mengikuti arah lereng.  Setelah beberapa waktu, akan terbentuk lembah sungai baru sebagai akibat pengikisan.  Pada sinklinal yang bertopografi tua, akan terbentuk percabangan sungai yang alirannya berlawanan dengan sungai utama

d)      Dendritic – pola aliran seperi tulang daun. 

e)      Radial – pola aliran seperti jari-jari lingkaran.  Pola aliran yang mengarah keluar (menjauhi) pusat terdapat di cembungan yang telah mengalami pengikisan lanjut  atau di kerucut-kerucut vulkanik.  Pola aliran yang mengarah ke pusat terdapat pada wilayah bertopografi menyerupai cekungan.   

 

Pada suatu wilayah, sangat dimungkinkan ditemukan pola aliran yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih pola-pola aliran di atas. Selain itu, juga dimungkinkan ada pola aliran yang tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu dari pola aliran di atas.

 

3. 2. Penduduk dan aktivitasnya

 

Selain oleh proses-proses alamiah, bentang permukaan bumi juga dibentuk oleh aktivitas penduduk.  Aktivitas penduduk yang mengawali terjadinya perubahan karakter permukaan bumi adalah pembangunan tempat tinggal.  Dalam membangun tempat tinggal, umumnya penduduk akan memilih lokasi yang memiliki persyaratan sebagai berikut (a) mudah dicapai, (b) terdapat sumber air tawar, (c) aman dari gangguan banjir, binatang buas, dan sebagainya, serta (d) dekat dengan sumber-sumber kehidupan

 

Tidak semua bagian permukaan bumi memiliki persyaratan di atas. Oleh karena itu akan ditemukan variasi jumlah penduduk antar berbagai tempat.  Tempat yang memiliki persyaratan ideal akan dipenuhi oleh banyak penduduk, sedangkan tempat yang kurang ideal akan dihuni oleh sedikit penduduk.  Bahkan, ada beberapa tempat yang sama sekali tidak ada penghuninya.  Beberapa tempat yang memenuhi persyaratan ideal sebagai lokasi hunian antara lain adalah: tanggul sungai, tanggul pantai, muara sungai besar, medan-medan datar yang memiliki jaringan jalan, dsb.   

 

Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah penduduk pun semakin banyak.  Pada sisi lain, tempat-tempat yang layak dihuni juga semakin padat sehingga tidak mampu lagi menampung lonjakan jumlah penduduk.  Dalam situasi demikian, penduduk yang datang kemudian akan mulai merambah ke tempat-tempat yang sebenarnya tidak layak untuk dihuni.  Rawa, lereng-lereng curam, dataran banjir, dan tebing pantai pun mulai dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lokasi tempat tinggal. 

 

 
 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 8.  Model interaksi manusia-lingkungan

 

Apabila suatu tempat telah dihuni penduduk, maka akan diikuti oleh timbulnya berbagai jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Jenis usaha yang berbeda akan memilki persyaratan lokasi yang berbeda pula.  Persawahan, misalnya, mensyaratkan bentuk medan yang datar, relatif luas, dan bertanah lempung.  Berbeda dengan persawahan, perkebunan jati dapat tumbuh di atas tanah kapur pada iklim yang relatif lebih kering.  Tambak udang hanya dapat diusahakan pada pantai-pantai yang terkena pengaruh pasang surut serta dekat dengan kota besar.  Kegiatan industri umumnya berkembang pada medan datar yang cukup luas di pinggiran kota yang memiliki infrastruktur lengkap agar mudah mencapai lokasi bahan baku, lokasi pasar, dan lokasi tenaga kerja.  Sementara itu kegiatan jasa dan perdagangan justru tidak membutuhkan tanah yang luas dan banyak ditemukan pada pusat kota

 

Setiap penduduk memiliki kebebasan untuk memilih bidang usaha yang akan dikembangkan tergantung pada minat, kemampuan, dan harapan masa depannya.  Namun demikian, bila penduduk yang menghuni suatu tempat memiliki nilai dan orientasi budaya yang serupa, umumnya pada tempat tersebut akan dijumpai jenis usaha yang relatif homogen. Sebaliknya, bila nilai dan orientasi budaya penduduknya heterogen maka akan dijumpai jenis-jenis usaha yang heterogen pula.  Menurut sebagian besar ahli, penduduk di perkotaan lebih heterogen dari pada penduduk di perdesaan, oleh karena itu jenis usahanya juga lebih bervariasi. 

 

Hal yang perlu diingat adalah nilai dan orientasi budaya pada suatu kelompok penduduk dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan desakan kebutuhan hidup.  Perubahan budaya tersebut akan memberikan dampak pada cara dan intensitas penduduk dalam memanfaatkan alam.  Tidak jarang, cara pemanfaatan alam yang semakin intensif justru menimbulkan perubahan keseimbangan lingkungan sehingga menyebabkan banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, tanah tandus, dan sebagainya.

 

 

 
 

BAB 4
METODE KULIAH KERJA LAPANG I

 

 

4.1 Orientasi Medan

 

4.1.1 Menentukan posisi di lapang

 

Hal pertama yang harus dilakukan guna menentukan posisi adalah menyamakan kedudukan peta dengan medan sebenarnya yang disebut dengan orientasi peta.  Orientasi peta dikatakan benar apabila kedudukan utara peta sama dengan arah utara sebenarnya.  Arah utara dapat ditentukan dengan cepat, mudah, dan tepat dengan menggunakan kompas.  Bila tidak ada kompas, arah utara dapat ditentukan dengan dapat dilakukan dengan memperhatikan bayangan sebuah tongkat. Syarat utama pengamatan bayangan adalah ada sinar matahari yang cukup dan dilakukan pada tempat terbuka. Caranya adalah sebagai berikut:

1.       Tancapkan tongkat yang cukup panjang dan perhatikan bayangannya. Berilah tanda pada ujung bayangan, misalnya dengan kerikil.

2.       Tunggulah minimal 30 menit hingga hingga bayangan bergeser. Berikan tanda dengan kerikil tepat pada ujung bayangan yang baru.

3.       Tariklah garis yang menghubungkan kerikil pertama dengan kerikil kedua. Garis yang terbentuk adalah arah barat (kerikil pertama) – timur (kerikil kedua). Tegak lurus dengan garis tersebut adalah arah utara – selatan.   

 

Setelah kedudukan peta benar, carilah minimal 2-3 tanda medan yang mudah dikenal seperti puncak bukit/gunung, muara sungai, belokan/perempatan jalan, pohon besar, gedung bertingkat, dan sebagainya.  Tanda-tanda medan tersebut harus berada pada sudut yang saling berbeda.  Bidikkan kompas pada masing-masing tanda medan tersebut lalu tentukan sudut azimutnya. Tariklah garis berdasarkan hasil bidikkan kompas dari setiap tanda medan. Titik potong antar garis-garis tersebut adalah posisi atau titik tempat kita berdiri.   Dengan kemajuan teknologi, penentuan posisi di lapangan dapat dilakukan secara cepat dan akurat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System).

 

Catatan: Azimut adalah sudut yang dibentuk oleh arah utara, titik tempat mengukur, dan tempat yang akan ditentukan arahnya.  Ditentukan searah putaran jarum jam.

 

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 9.  Mengukur azimut

 

4.1.2 Menghitung jarak di lapang

 

Pendugaan atau perkiraan jarak di lapangan dapat dilakukan dengan cara sederhana, namun hasilnya masih kasar.   Hal yang harus ada dari pendugaan secara kasar adalah mistar plastik tembus pandang dan suatu obyek yang ketinggiannya sudah diketahui serta berlokasi pada jarak yang hendak diukur.  Bila tidak ada obyek yang sudah diketahui ketinggiannya, carilah obyek yang ketinggian rata-ratanya sudah diketahui umum seperti tiang listrik (3-4 meter), pohon kelapa (5-6 meter), atau pohon cemara (8 meter).  Sebagai contoh, untuk menduga jarak AD pada Gambar 8, maka pengukur di titik A dapat melakukan cara berikut:

1.       Pegang mistar x dengan salah satu tangan.  Rentangkan tangan tersebut ke arah depan hingga membentuk sudut siku-siku dengan badan.  

2.       Tegakkan mistar x dengan titik 0 terletak pada bagian bawah. 

3.       Arahkan hadapan badan ke suatu obyek z yang berketinggian tetap.  Pastikan agar rentangan tangan sejajar dengan pandangan mata dan angka 0 pada mistar x berkesesuaian dengan dasar obyek z.  Guna memastikan, bidiklah dengan mata.

4.       Bidik puncak puncak obyek tetap melalui mistar. Garis bidik adalah garis AE

5.       Berilah tanda pada mistar yang berkesesuaian dengan puncak obyek.  Tanda pada mistar akan menghasilkan panjang garis BC.  Apabila panjang tangan pengukur adalah AB, maka sudut BAC dapat dihitung dengan rumus tg θ = BC/AB

6.       Mengingat ∆ ABC sebangun dengan ∆  ADE, maka sudut BAC = sudut DAE. Dengan demikian, bila ketinggian DE telah diketahui atau dapat diperkirakan mendekati kepastian, maka jarak AD dapat dicari dengan rumus BC/AB = DE/AD.

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


4.1.3  Memahami kontur dan bentuk medan

 

Bentuk medan dapat dipahami melalui pembacaan kontur (garis tinggi) pada peta topografi/peta rupa bumi. Pada dasarnya, kontur adalah proyeksi bentuk medan ke dalam bidang datar.   Disebut sebagai garis tinggi karena menghubungkan titik-titik yang memiliki ketinggian sama.  Hal-hal prinsipil dari kontur atau garis tinggi adalah:

a)      Antar garis tinggi tidak pernah terjadi perpotongan, yang mungkin terjadi adalah persinggungan. Dalam penggambarannya, persinggungan antar garis tinggi bisa saja seolah-olah terlihat sebagai penumpukkan.

b)      Apabila ditemukan garis yang memotong kontur, garis tersebut pasti bukan garis tinggi. Kemungkinan garis tersebut adalah sungai atau jalur transportasi. 

c)       Kontur selalu berurutan nilainya, baik ke atas maupun ke bawah, sesuai dengan intervalnya.

d)      Interval (jarak nilai) kontur selalu tetap dalam satu skala yang sama.

 

Untuk memahami bentuk medan, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca kontur adalah kerapatan dan bentuknya.  

a)      Bila kedudukan kontur sangat rapat menunjukkan medan terjal, bila renggang menunjukkan medan datar.

b)      Kontur berbentuk seperti huruf “U” menunjukkan punggungan.  Bentuk “U” juga menunjukkan ketinggian yang semakin rendah atau menjauhi puncak.  Bila bentuknya seperti huruf “U terbalik” menunjukkan ketinggian yang semakin meningkat atau mendekati puncak.  Bentuk “U terbalik” menunjukkan lembah.  Lembah selalu terdapat di antara dua punggungan. Bila lebih runcing atau menyerupai huruf “V terbalik” menunjukkan adanya sungai atau alur sungai. 

c)       Kontur dapat juga berbentuk seperti lingkaran kecil (bulatan) yang terletak di tengah-tengah lingkaran lainnya yang lebih besar.  Bila lingkaran terkecil merupakan titik tertinggi berarti menunjukkan puncak gunung, bila merupakan titik terendah berarti menunjukkan dasar cekungan.

 

Beberapa contoh interpretasi bentuk medan berdasarkan pembacaan kontur:

       
 
 
   
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


3.2  Pengamatan Aspek Fisik

 

Secara umum, prosedur pengamatan dilakukan dengan :

  1. Mempelajari lokasi KL-1 dari peta topografi/rupabumi (kontur dan kenampakkan fisik lainnya) dan peta geologi, serta dari referensi buku yang menjelaskan secara geologi dan geomorfologi daerah yang diamati yang difokuskan pada ciri-ciri secara geologi dan gemorfologi. Hal terpenting juga mengenai Sejarah Geologi daerah tersebut.
  2. Membuat 2 - 3 penampang melintang pada wilayah pengamatan (Lihat Kotak 1)
  3. Mencatat karakteristik fisik yang merupakan ciri dari setiap bentang alam.
  4. Membuat sketsa gambar dari kenampakan yang ada dan mengabadikan dalam bentuk foto.
  5. Menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lembar pertanyaan yang berkaitan dengan Geomorfologi.
  6. Pengamatan obyek/bentukan alam di lapangan dengan mengacu pada peta geologi dan peta topografi.  Mencakup :

a)      Obyek geologi terdiri dari : struktur geologi (punggungan, dip & strike, batuan ekstrusif, dll), jenis batuan (sedimen, vulkanis dan metamorf/malihan) dan stratigrafi (berkaitan dengan lapisan batuan)

b)      Obyek geomorfologi terdiri dari : lereng, bentuk-bentuk sungai, bentukan vulkanik, hasil erosi, pengendapan (fluvial), marin, kapur/karts, dll.

  1. Melakukan pengukuran dan ujicoba dengan alat dan bahan perlengkapan geologi (kompas geologi, HCl 10%, palu geologi, dsb)
  2. Mengambil beberapa sampel batuan dari lokasi pengamatan untuk diamati lebih lanjut
  3. Menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lembar pertanyaan yang berkaitan dengan Geologi dan Geomorfologi.

KOTAK 1:  Membuat penampang melintang

 

Penampang melintang adalah garis lurus yang menghubungkan beberapa titik pengamatan atau beberapa gejala penting dalam suatu wilayah studi. Penampang melintang merupakan sampel untuk menjelaskan keseluruhan area penelitian yang sekaligus berfungsi sebagai acuan jalur pengamatan.

 

Penampang melintang yang baik harus memenuhi syarat sbb.:

·          Pada wilayah pengamatan terdapat lebih dari satu penampang melintang

·          Mencakup ketinggian yang bervariasi dari titik terendah hingga tertinggi

·          Mencakup kondisi geologi dan geomorfologi yang bervariasi/menarik

·          Mencakup penggunaan tanah yang bervariasi

·          Mencakup permukiman penduduk

·          Sedapat mungkin, satu penampang melintang dapat dipergunakan baik untuk pengamatan aspek fisik maupun aspek aktivitas manusia

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


3.2.1 Pengamatan Batuan

KOTAK 2: Prosedur umum pengamatan batuan

 

·          Siapkan peralatan survei lapang: palu geologi, kompas geologi, kaca pembesar, GPS, mistar/meteran, alat tulis, catatan lapang, kamera, dan peta kerja

·          Perhatikan dan plot lokasi pengamatan dan/atau lokasi sampel pada peta kerja

·          Perhatikan jenis-jenis batuan yang ada

·          Bila menemukan singkapan, perhatikan dan catat perbedaan jenis batuan pada setiap lapisan.

·          Ukur ketebalan setiap lapisan batuan

·          Periksa peta geologi untuk menentukan formasi batuan.

 

 
 

 

 

 

 

 

 


Pengamatan jenis batuan dilakukan dengan mengambil beberapa contoh batuan dari berbagai lokasi yang memiliki karakteristik berbeda.  Bebarapa karakteristik lokasi yang dapat dipilih untuk pengambilan contoh batuan di antaranya adalah:

a)      Dekat dengan aktivitas vulkanik

b)      Dekat lokasi pertambangan

c)       Pada wilayah endapan

d)      Bekas longsoran

e)      Pada wilayah pantai landai/terjal

f)        Pada alur sungai

KOTAK 3:  Pengambilan sampel batuan

 

Lokasi pengambilan sampel harus sesuai dengan penampang melintang yang telah dibuat. Pada setiap pengambilan sampel atau contoh batuan, setiap peserta harus  mencatat koordinat lokasi sampel sesuai hasil pengukuran dengan GPS dan memplotkannya di atas peta kerja.  Pada catatan lapang juga harus dicantumkan nama lokasi dan kondisi lapang yang spesifik.  Jangan lupa untuk memotret lokasi dan contoh bantuan. 

 

 
 

 

 

 

 

 

 


Pada KKL I ini, pengamatan batuan dilakukan dengan metode megaskopik yaitu pengamatan dengan menggunakan mata telanjang, kaca pembesar (loupe), atau binokuler.

 

Hal yang harus diamati dari contoh-contoh batuan adalah:

a)      Jenis batuan

Ø       Mengidentifikasi Jenis Batuan

Identifikasi untuk menentukan jenis batuan dilakukan dengan memperhatikan:

a)      kandungan/jenis mineral yang terdapat dalam batuan

b)      tekstur (ukuran dan bentuk butiran mineral);

c)       struktur atau susunan mineral batuan

 

Secara umum, berbagai batuan di alam digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf.  Secara megaskopik, beberapa ciri utama yang dapat membedakan ketiga jenis batuan tersebut disajikan pada tabel di bawah ini. 

 

Tabel 3.   Ciri-ciri utama jenis batuan

Beberapa Ciri

Jenis Batuan

utama

Batuan Beku

Batuan Sedimen

Batuan Metamorf

Keberadaan kristal

Jelas terlihat

Tidak ada

Pada beberapa jenis dapat terlihat

Struktur

Tidak berlapis

Pelapisan sejajar berbagai butiran

Susunan (foliasi) mineral terang dan gelap atau pipih dan berbutir

Tingkat kekerasan

Keras

Keras s/d lunak

Keras s/d lunak

Keberadaan fosil

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tekstur

Sangat kasar – sangat halus

Sangat kasar – sangat halus

Sangat kasar – sangat halus

Kekompakkan

Padat dan kokoh

Padat s/d berongga

Padat

Warna

Abu-abu terang s/d hitam

Umumnya kecoklatan atau keabu-abuan

Sangat bervariasi

Sumber:

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 11 .  Contoh-contoh batuan

 

 

Ø       Mengidentifikasi Batuan Beku

Berdasarkan cara terbentuknya, batuan beku dapat digolongkan atas batuan beku dalam (plutonic rocks) dan batuan beku luar (volcanic rocks).  Kedua jenis batuan beku tersebut dapat dibedakan antara lain dari ukuran butiran mineral penyusunnya. Berdasarkan diamater butiran, dikenal adanya butiran kasar (fanerik) dan butiran (afanitik).  Apabila butirannya besar dan kasar sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang/kaca pembesar/binokuler, batuan beku tersebut termasuk golongan batuan plutonik.  Sedangkan bila ukurannya sangat halus (mikromilimeter) dan hanya dapat dilihat secara mikroskopik baik dengan scaning electronic dan difraksi sinar-X, batuan beku tersebut termasuk golongan batuan vulkanik.

 

Mengingat ukuran butiran mineral juga menentukan tekstur batuan, dapat dikatakan bahwa batuan plutonik memiliki tekstur lebih kasar dibandingkan batuan vulkanik.

 

Tabel 4.  Pembentukan dan tekstur batuan beku

Aktivitas magma

Kedudukan terhadap permukaan bumi

Tekstur

Intrusif

(Plutonic rocks)

Dalam

(Plutonik)

Kasar – sangat kasar

Dangkal

(Hipahisal)

Halus – sedang

Ekstrusif

(Volcanic roks)

Permukaan

(Efusif/lelehan lava)

Sangat halus – halus

Permukaan

(Eksplosif/letusan)

Kasar – sangat halus – amorf

Sumber: Muif, 1988

 

Setelah dapat membedakan batuan plutonik dan vulkanik, pengamatan selanjutnya adalah untuk mengetahui lebih jenis-jenis batuan berdasarkan mineral pembentuknya.  Kandungan mineral penyusun batuan antara lain dapat diidentifikasi melalui pengamatan warna dan tingkat keasaman batuan. 

o        Apabila berwarna terang, batuan tersebut kaya akan kandungan silikat

o        Apabila berwarna gelap, batuan tersebut kaya akan kandungan karbonat dan magnesium

 

Untuk mengetahui tingkat keasaman batuan dapat digunakan larutan asam klorida (HCl)10%. 

o        Apabila timbul reaksi kimia (umumnya ditandai dengan timbulnya gelembung/busa yang diiringi dengan bunyi mendesis), batuan tersebut memiliki sifat asam.   Batuan asam menunjukkan kaya akan silikat

o        Sebaliknya, bila tidak bereaksi maka tergolong sebagai batuan yang memiliki sifat basa.   Batuan basa menunjukkan kaya akan karbonat dan magnesium

 

Tabel 5.  Warna, sifat, dan kandungan mineral batuan beku

PLUTONIK

Granit        Granodiorit

Diorit

Gabro         Peridotit

Ciri Utama

Warna

 

 

Sifat

Asam

 

Basa

Mineral

Kaya akan Si (50-75%)

 

Kaya akan Ca+Mg

VULKANIK

Riolit

Dasit                   Andesit

Basalt

 

KOTAK 4: Magma induk dan tingkat keasaman batuan beku

 

Terdapat tiga jenis magma induk yang membentuk batuan beku, yaitu magma induk basalt olivin (basa-ultra basa), magma induk basalt toleitik (basa-menengah), dan magma induk granit (asam).  Karakteristik magma induk akan mempengaruhi kandungan mineral dan sifat batuan beku.  Namun, di alam sering ditemukan adanya batuan beku yang memiliki sifat berbeda dengan magma induknya.  Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pelepasan kandungan gas bersamaan dengan bergeraknya magma ke permukaan (proses diferensiasi magma) dan oleh proses pencampuran magma induk dengan batuan yang diterobosnya ketika muncul di permukaan bumi (proses asimilasi magma).  Kedua proses tersebut akan mempengaruhi tingkat kekentalan magma.  Semakin tinggi tingkat kekentalan magma, semakin kaya akan silikat yang berarti pula semakin bersifat asam.

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

KOTAK 5: Batuan beku dan kerak permukaan bumi

 

Menurut beberapa ahli, batuan yang bersifat basa merupakan indikasi batuan penyusun kerak samudera.  Sementara batuan bersifat asam merupakan penyusun kerak kontinen.  Karena kerak samudera lebih luas dari pada kerak kontinen, sehingga tidak mengherankan apabila kehadiran batuan bersifat basa relatif lebih dominan.  

 

 
 

 

 

 

 

 


Ø       Mengidentifikasi Batuan Sedimen

Ciri-ciri utama batuan sedimen meliputi tekstur, struktur, dan komposisi mineral pembentuknya sebagai akibat dari cara pembentukannya yang berbeda-beda.  Faktor utama yang membedakan batuan sedimen dari batuan beku adalah ditemukannya lapisan-lapisan, baik teratur maupun tidak teratur. 

 

Untuk membedakan tekstur batuan sedimen yang terdiri dari butiran berdiameter ≤ 1 mm dapat dilakukan dengan menggunakan tangan.  Namun hasil pembedaan tersebut masih sangat umum. 

o        Apabila tidak dapat menempel di telapak tangan dan sifat butirannya terlepas, maka dapa digolongkan sebagai pasir kasar hingga sangat kasar.

o        Apabila butirannya menempel pada tangan namun susah diolah menjadi bentuk  tertentu dapat digolongkan sebagai pasir halus.  Apabila mudah dibentuk, dapat digolongkan sebagai pasir halus hingga sangat halus.

o        Apabila butirannya terasa licin namun hancur jika ditekan/digosok dengan telapak tangan atau ibu jari, maka dapat digolongkan sebagai lanau.  Jika susah hancur, maka dapat digolongkan sebagai lempung.

 

Tabel 6.  Pembentukan dan tekstur batuan sedimen

Diameter butiran

Penggolongan

Pembentukan

256 mm

Bongkah

 

 

 

64 mm

Berangkal

Konglomerat

 

 

4 mm

Kerakal

atau breksi

 

 

2 mm

Kerikil

 

Klastik kasar

Mekanis

1 mm

Pasir sangat kasar

 

 

 

0,5 mm

Pasir kasar

Batu pasir

 

 

0,25 mm

Pasir sedang

 

 

 

0,125 mm

Pasir halus

 

 

 

0.0625 mm

Pasir sangat halus

 

 

 

0,00395 mm

Lanau

Batu lanau

Klastik halus

Mekanis dan

0,00424 mm

Lempung

Batu lempung

 

Kimia

Sumber: Muif, 1988

 

 
 

KOTAK 6: Keseragaman butiran batuan sedimen

 

Di alam, butiran pasir, lanau, dan lempung sangat dimungkinkan ditemukan juga pada batuan konglomerat dan breksi.  Demikan juga halnya dengan butiran kerakal atau kerikil yang dapat ditemukan pada batu pasir.  Pola pencampuran inilah yang akan menentukan tingkat keseragaman butiran pada batuan sedimen.

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

KOTAK 7: Kematangan tekstur batuan sedimen

 

Kehadiran lempung pada batuan sedimen dapat menunjukkan tingkat kematangan tekstur batuan tersebut.  Semakin sedikit kandungan lempung, semakin matang teksturnya.  Umumnya, pada batuan sedimen yang bertekstur matang, butiran penyusunnya relatif lebih seragam dan cenderung membulat. 

 

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tingkat kematangan tekstur batuan sedimen juga dipengaruhi oleh besarnya energi pengangkutan dan pengendapan.  Semakin besar energi pengangkutan dan pengendapan, tekstur batuan sedimen semakin cepat matang. 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 


Khusus untuk konglomerat dan breksi, keduanya dapat dibedakan berdasarkan bentuknya.  Bila bentuknya membulat digolongkan sebagai konglomerat, bila bentuknya menyudut (menajam) digolongkan sebagai breksi.  Secara genetik, kedua bentuk tersebut dapat mengindikasikan jauh dekatnya perjalanan pengangkutan sedimen dari sumber asalnya ke lokasi pengendapan.  Semakin membulat, semakin jauh jarak pengangkutannya.

 

Tabel 7. Batuan sedimen menurut asal dan proses pembentukan

 

Asal

 

Marin

Fluvial

Longsoran

Glasial

Eolian

 

Tak terkonsoli-dasi

Terkonsoli-dasi

Tak terkonsoli-dasi

Terkonsoli-dasi

Tak terkonsoli-dasi

Terkonsoli-dasi

 

 

Klastik

Lempung

Lanau

Napal

Debu

Pasir

Batu lempung

 

Serpih debu

Batu pasir

Lempung

Pasir

Kerikil

Kerakal

Batu

 

Batu pasir

 

Konglomerat

Fragmen Batuan

 

 

 

 

Breksi

 

Pasir

Bongkah lempung

Bongkah napal

Bongkah tufa

Loess

Loess-pasiran

Gumuk-pasir

Abu-vulkanik

Kimia

CaCO3

CaMg(CO3)2

Batu kapur

Dolomit

 

Biogenik

Kerangka dan kerang kapur

 


Kerangka dan kerang silikaan

 

Lanau

 

  Batu

  kapur

 

  Batu api

  Rijang

  Sekis

  Sikaan

 

 

 

Ø       Mengidentifikasi Batuan Metamorf

Secara megaskopik, pengamatan batuan metamorf meliputi struktur, tekstur, dan susunan mineral.  Namun, seperti halnya pengamatan batuan beku dan batuan sedimen, hasil pengamatan batuan metamorf secara megaskopik baru memberikan gambaran umum.  Adapun, kualitas identifikasi dari pengamatan tersebut sangat ditentukan oleh pengalaman.

Rujukan pengamatan struktur, tekstur, dan kompisisi kimia batuan metamorf dapat dilihat pada Tabel 8, 9, dan 10 di bawah ini:

 

Tabel 8. Struktur Batuan Metamorf

No

Struktur

Ciri Utama

Pembentuk

1

Sekis

Adanya pelapisan berulang mineral pipih dan mineral berbutir

Dinamotermal dan beban

2

Genes

Adanya persilangan antara lapisan terang dan lapisan gelap

Dinamotermal dan beban

3

Sabak

Dibentuk oleh mineral pipih dengan pemilahan yang tidak jelas (belum tampak)

Dinamotermal dan beban

4

Filit

Dibentuk oleh mineral pipih dengan pemilahan yang lebih jelas dibandingkan sabak

Dinamotermal dan beban

5

Granular

Adanya susunan mineral butiran yang berdimensi (berukuran) relatif sama.

Term al

6

Hornfelsik

Seperti garnular, tetapi dimensi butirannya tidak seragam

Termal

7

Kataklastik

Pecahan batuan dalam suatu massa dasar yang halus. Tidak memperlihatkan adanya pelapisan.

Tekanan searah

8

Milonitik

Pecahan batuan besar yang dikelilingi oleh massa dasar halus. Memperlihatkan adanya pelapisan.

Tekanan searah

9

Fillonit

Seperti milonitik, tetapi tingkat kehancurannya lebih tinggi.

Tekanan searah

Sumber: Muif, 1988

 

Tabel 9. Tekstur batuan metamorf

Jenis tekstur

Keterangan

Pembentukan

Lepidoblastik

Dibentuk oleh mineral pipih

Umumnya akibat proses dinamotermal (tekanan dan kontak termal)

Nematoblastik

Dibentuk oleh mineral tabular, prismatik, atau meniang

 

Gramoblastik

Dibentuk oleh mineral berbutir yang berdimensi sama

Umumnya terjadi akibat kontak termal

Penggolangan tekstur

Keterangan

Heteroblastik

Bila batuan metamorf memiliki lebih dari satu jenis tekstur

Homeoblastik

Bila batuan metamorf memiliki hanya satu jenis tekstur

Sumber: Muif, 1988

 

 

Tabel 10.  Kandungan mineral batuan metamorf

 

Jenis Mineral

Indikasi warna

1

Epidot, khlorit, aktinolit, serpentin

Dominasi Hijau

2

Piroksen, hornblenda, muskovit, biotit, garnet, siliminit, andalusit, kianit

Dominasi Tidak hijau

Sumber: Muif, 1988

 

 

 

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 


Gambar 12 .  Struktur batuan metamorf: a) tak terfoliasi dan b) terfoliasi

(Sumber: PhysicalGeography.net-Dr Michael Pidwirny)

 

KOTAK 8: Batuan metamorf lokal dan regional

 

Berdasarkan kejadiannya, batuan metamorf dapat dibedakan atas metamorf lokal dan regional.  Batuan metamorf lokal dapat terjadi akibat kenaikan suhu pada lokasi tertentu, misalnya akibat terobosan magma yang mengalami kontak dengan batuan samping.  Metamorf lokal juga dapat terbentuk akibat proses mekanis dan dislokasi akibat gaya tekan searah yang diikuti oleh penggerusan, perpindahan, penghabluran, dan  pengikatan kembali. Umumnya terjadi di jalur patahan.

 

Batuan metamorf regional terjadi akibat adanya kenaikan temperatur dan tekanan secara bersama-sama.  Umumnya terjadi saat proses pembentukan pegunungan (orogenesa) dan gunung api sehingga sangat erat hubungannya dengan adanya tumbukan antar lempeng tektonik yang membentuk subdiction zone.   Batuan metamorf regional juga dapat terbentuk akibat proses pembebanan oleh suatu massa sedimen yang sangat tebal dan luas, misalnya pada sebuah cekungan geosinklinal. Pembebanan tersebut berkaitan erat dengan proses epirogenesa

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


b)      Tingkat Pelapukan. 

Tujuan pengamatan tingkat pelapukan adalah untuk mengidentifikasi kondisi batuan dalam menerima gaya eksogen (radiasi matahari, tenaga air, perubahan suhu, hidrolisis, oksidasi, dsb).  Dengan mengetahui tingkat pelapukan, maka akan dapat dilakukan pendugaan mengenai proses-proses geomorfologis dan biokimia yang terjadi pada tempat tertentu.  Hal ini disebabkan karena pelapukan merupakan gejala yang mengawali berbagai proses pembentukan muka bumi.   Beberapa ahli juga menyatakan bahwa adanya gejala pelapukan menunjukkan ketidakstabilan baik pada kondisi batuan itu sendiri maupun pada lingkungan tempat batuan tersebut berada.  Pada kondisi tidak stabil tersebut, batuan akan memiliki daya tahan yang lemah terhadap tekanan gaya eksogen sehingga mudah pecah (disintergrasi) atau berubah komposisinya (dekomposisi).

 

Batuan yang mengandung silikat (mineral kuarsa / SiO2) umumnya memiliki kondisi lebih stabil sehingga lebih tahan terhadap pelapukan. Demikian juga dengan batu kapur. Akibatnya, tempat-tempat yang didominasi oleh batuan induk silikat atau kapuran memiliki perkembangan tanah yang lebih lambat.  Sebaliknya, batuan induk yang banyak mengandung kation Ca, Mg, Na, dan K lebih mudah lapuk dan lebih cepat menjadi tanah.   Dengan demikian, tingkat kestabilan batuan terhadap gejala pelapukan dapat dinyatakan sebagai berikut:

 

·         Batuan beku plutonik          : Gabro < granit

·         Batuan beku vulkanik         : Basalt < riolit

·         Batuan sedimen                : Batu lempung < batu kapur

 

Untuk mengidentifikasi tingkat pelapukan dapat dilakukan dengan memecah batuan baik menggunakan palu, remasan tangan, injakan kaki, maupun dengan air.   Selanjutnya, pengamatan dilakukan terhadap perubahan warna, kekerasan batuan, dan dekomposisi batuan.   Identifikasi tingkat pelapukan sesuai dengan skala pelapukan pada tabel di bawah ini. 

 

Tabel 11. Skala Pelapukan Batuan

Skala

Derajat

Kondisi Batuan

I

Segar

Tidak menunjukkan gejala pelapukan. Sedikit terjadi perubahan warna pada permukaan dan rekahan batuan.

II

Agak lapuk

Terjadi perubahan warna pada material batuan dan permukaan rekahan,  tidak ditemukan adanya gejala pelunakkan.

III

Lapuk sedang

Perubahan warna terlihat lebih jelas dan ditemukan adanya pelunakkan pada beberapa bagian batuan.  Beberapa bagian lainnya, walaupun sudah mengalami perubahan warna namun belum mengalami pelunakkan.  Bagian ini diduga kuat merupakan inti batuan.

IV

Sangat lapuk

Beberapa bagian batuan sudah terdekomposisi menjadi tanah.  Bagian yang belum terdekomposisi merupakan inti batuan.  

V

Lapuk menyeluruh

Seluruh material batuan telah terdekomposisi atau terdisintegrasi menjadi tanah, namun masih terdapat susunan material yang utuh.

VI

Tanah residual

Seluruh material batuan telah terdekomposisi atau terdisintegrasi menjadi tanah.  Susunan material telah rusak dan mengalami perubahan volumen yang sangat besar, tetapi belum mengalami terangkut ke tempat lain.  Telah dapat dibedakan menjadi lapisan atas (horison A) dan lapisan bawah (horison B).

Sumber: Fakultas Geografi, UGM

 

 

3.2.2  Pengamatan Bentang Alam dan Gejala Fisik

KOTAK 9: Prosedur umum pengamatan bentang alam dan gejala fisik

 

·          Perhatikan bentuk permukaan bumi

·          Periksa dan pahami tanda-tanda pengikisan dan pengendapan

·          Periksa dan pahami tanda-tanda vulkanisme dan diastrofisme

·          Perhatikan karakteristik sungai, bukit, dan lembah

·          Perhatikan kelurusan sungai, kecuraman bukit, dan keberadaan tumbuhan

·          Periksa apakah terdapat tanda-tanda runtuhan tanah/batuan, longsoran, rayapan tanah, dsb.

·          Kaitkan lokasi obyek pengamatan  dengan kondisi geologinya, seperti ada tidaknya patahan dan/atau lipatan. 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tujuan pengamatan bentang alam dan gejala fisik untuk mengidentifikasi dan memahami proses-proses yang terjadi dalam pembentukan muka bumi di wilayah penelitian.

 

Pengamatan bentang alam dilakukan dengan membandingkan kenampakan di lapang dengan hasil interpretasi peta topografi dan peta geologi.  Pengamatan dan identifikasi bentang alam juga dilakukan dengan membandingkan bentang alam yang satu dengan lainnya.

 

Pengamatan bentang alam dan gejala fisik permukaan bumi didahului oleh pemahaman dan intepretasi terhadap peta topografi dan peta geologi wilayah penelitian (dan sekitarnya).  Hal ini dimaksudkan agar setiap peserta kuliah lapang dapat memahami situasi wilayah penelitian secara makro sebagai bagian dari lingkungan fisik (geomorfologi, geologi, hidrologi, dsb) yang lebih luas.   Secara lebih detail, bentang alam dan gejala fisik yang  perlu diamati dan diidentifikasi di lapangan adalah:

a)      Gejala vulkanisme: mata air panas (hot springs),  solfatara, pasir/debu vulkanik,

b)      Gejala tektonik: sesar naik/turun, horst, graben, sinklinal/antiklinal, pegunungan lipatan (antiklinorium), plato, dome, basin, antesedensi, fleksure, dsb.

c)       Gejala pengendapan: tanggul sungai, tanggul pantai, kipas aluvial, beting, gosong, laguna, delta, endapan pada kelokan sungai, endapan pasir/lumpur pada muara sungai, rawa, dsb.

d)      Gejala pengikisan: lembah sungai, tebing pantai, bukit sisa, pola tata air, mesa, butte, air terjun, sungai mati, teras sungai,dsb

 

Sebelum melakukan survey atau pengamatan lapang, setiap kelompok diharuskan untuk menentukan terlebih dahulu lokasi-lokasi yang akan didatangi.  Penentuan lokasi didasarkan atas kondisi topografi dan geologi setempat yang dapat diperoleh dari pemahaman/intepretasi peta dan disajikan dalam bentuk penampang melintang.

 

Setiap kelompok harus melakukan pengukuran dengan GPS guna menentukan lokasi suatu obyek pengamatan dan kemudian memplotkannya ke dalam peta kerja.  Selanjutnya, lakukan identifikasi lokasi obyek pengamatan dalam kaitannya dengan kenampakkan pada peta topografi dan peta geologi. Misalnya, mata air panas banyak terdapat di patahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

3.2.3  Pengukuran hujaman lapisan geologis (dip and strike)

 

Gambar 13.. Dip dan strike

 

 
Pengukuran hujaman batuan dilakukan dengan menggunakan kompas geologi dan mistar/meteran.  Parameter yang diukur adalah kemiringan lapisan (dip) dan arah perpotongan antara lapisan dan bidang horisontal (strike). Lihat Gambar.  Strike selalu dinyatakan dalam bentuk derajat ke arah timur dan barat  dari kedudukan utara kompas.  

 

 

Metode pengukurannya adalah sebagai berikut:

  1. Dengan menggunakan tali, buatlah garis lurus dan mendatar pada permukaan lapisan seperti pada Gambar 12a.  Bila pada lapisan ditemukan batas ketinggian air, batas tersebut dapat digunakan untuk membuat garis dimaksud. 
  2. Gambarkan dengan kapur beberapa garis sama tinggi berinterval sama yang sejajar dengan tali.  Lihat Gambar 12b.
  3. Letakkan kompas geologi tepat pada salah satu garis tinggi.  Posisi kompas harus benar-benar datar.  Lihat Gambar 12c.
  4. Baca hasil pengukuran pada kompas geologi.  Angka yang ditunjukkan oleh jarum kompas merupakan arah strike.
  5. Setelah arah strike ditentukan, baru dilakukan pengukuran dip (Gambar 12f – 12i).  Letakkan kompas pada bagian sisinya di atas permukaan lapisan.  Pada kompas terdapat indikator (nivu) yang dapat menunjukkan posisi dan skala keminringan.   Bila diletakkan pada bidang miring, gelembung udara pada nivu harus diatur hingga berada di tengah yang berarti posisi kompas sudah datar.  Pengaturan gelumbung udara dilakukan dengan memutar tuas pada bagian belakang kompas.  Setelah posisi gelembung udara stabil, bacalah hasil pengukuran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 14. Pengukuran dip dan strike

 
 

 

 


3.2.4  Pengukuran hidrologi

KOTAK 10: Prosedur umum pengukuran hidrologi

 

·          Perhatikan ukuran dan bentuk sungai

·          Perhatikan kondisi dan volume air sungai

·          Perhatikan karakteristik aliran

·          Perhatikan jenis dan bentuk material yang diangkut sungai

·          Periksa apakah badan sungai dipenuhi oleh batuan besar

·          Periksa apakah terdapat tanda-tanda pengendapan pada badan/kelokan/bantaran sungai, bekas banjir, pengikisan pada tebing sungai.

·          Kaitkan karakteristik sungai dengan kondisi geomorfologinya.

·          Kaitkan karakteristik sungai dengan kondisi geologinya, seperti ada tidaknya patahan dan/atau lipatan. 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Ø       Pengukuran aliran sungai

Pengukuran aliran sungai ditujukan untuk mengetahui volume air yang mengalir pada penampang sungai per satuan waktu. 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 15. Penampang sungai

 
 

 

 

 


Yang mana:

xyz        = luas penampang aliran, dilambangkan dengan A

L           = panjang atau jarak aliran

 

Jika waktu yang dibutuhkan oleh air untuk menempuh L  dilambangkan dengan T, maka kecepatan aliran (V) dapat ditentukan dengan rumus   V =  L / T

Sehingga besarnya debit (Q) adalah

   Q = A x V  atau   A x  L / T

 

Pengukuran debit tidak dapat dilakukan pada sembarang tempat. Selain harus mempertimbangkan  tujuan penelitian dan tingkat ketelitian yang diharapkan, pemilihan lokasi sample harus memperhatikan kestabilan sungai.  Salah satu indikasi kestabilan adalah tidak ditemukannya gejala sedimentasi serta tidak dipenuhi oleh tumbuhan air. Bagian-bagian sungai yang berbentuk lurus pada umumnya memiliki kondisi yang relatif stabil.   Namun demikian, apabila bagian sungai tersebut berada di dekat percabangan sungai atau di dekat muara, kondisi kestabilan berpotensi terganggu oleh aliran balik (back water).  Oleh karena itu, lokasi-lokasi tersebut sebaiknya dihindari.     Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah lokasi-lokasi sample yang dipilih harus dapat digunakan untuk mengukur aliran rendah  hingga aliran tinggi.

 

Adapun metode pengukuran debit adalah sebagai berikut:

 

Pengukuran penampang aliran (A) dilakukan dengan melakukan pengukuran lebar permukaan dan kedalaman sungai pada segmen atau bagian yang telah ditentukan.  Pengukuran permukaan dilakukan menggunakan tali meteran, sedangkan pengukuran kedalaman dapat menggunakan tongkat pengukur.  Pengukuran kecepatan aliran (V) dapat dilakukan baik dengan metode pelampung maupun dengan metode current meter.

 
 

KOTAK 10: Melengkapi formulir pengamatan

 

Sebelum melakukan pengukuran, tuliskan terlebih dahulu pada formulir pengamatan nama lokasi, nomor sampel pengamatan, hari dan tanggal pengamatan, serta kondisi lapang (seperti cuaca, banjir, dan sebagainya).

 

 
 

 

 

 

 

 


o        Metode Pelampung

 

1.       Bila pengukuran dilakukan dengan metode pelampung, alat-alat yang dibutuhkan adalah penghitung waktu (stop watch), meteran, dan pelampung.  Jenis-jenis pelampung yang dapat digunakan antara lain adalah:

 

 

Jenis pelampung

Nilai konstanta (k)

1

Pelampung permukaan

0,85 (kondisi normal)

 

(surface float)

0,60 (kedalaman < 0,5 m)

 

 

0,90 – 0,95 (kedalaman > 3 m)

2

Buoyant

1,00

3

Rod and chain

0,85 – 1,00

 

2.       Metode pelampung mensyaratkan pengukuran pada segmen/bagian sungai yang cukup panjang, cenderung lurus, dan memiliki penampang yang relatif seragam.

3.       Bila penampangnya tidak seragam, maka segmen sungai tersebut harus dibagi secara paralel sesuai dengan kondisi penampang. Pada sungai sempit, penampang dibagi sama besar menjadi 2 seksi paralel. Sedangkan pada sungai lebar, pembagian seksi dapat dilakukan lebih banyak (Lihat Gambar 14).  Untuk keperluan tersebut, perlu dilakukan penggambaran profil sungai.  

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 16. Pembagian seksi paralel pada sungai lebar

 
 

 


4.       Tentukan dua titik (A dan B) untuk mengamati pergerakan pelampung.  Jarak ideal antara dua titik tersebut adalah antara 20 – 50 m.  Apabila pengukuran dilakukan pada sungai lebar yang berprofil heteregon, pengamatan pelampung dilakukan pada setiap seksi paralel (Lihat Gambar 15 a & b)

5.       Siapkan pelampung dan tempatkan pada jarak yang tidak terlalu jauh dari titik A.  Pelampung harus ditempatkan pada arus sungai yang tidak atau relatif sedikit mengalami gangguan baik karena batuan, arus balik, tumbuhan, endapan lumpur, tumpukan sampah, dan sebagainya.

6.       Setelah alat pengukur waktu siap, biarkan pelampung bergerak mengikuti arus dan ukur waktu tempuh (T) yang dibutuhkan oleh pelampung untuk menempuh jarak dari A ke B.  Lakukan pengukuran beberapa kali (minimal 5 kali). 

 
 
 

 

 

 

 


 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 


7.       Tuliskan hasil pengukuran pada “Kertas Kerja Pengukuran Debit Metode Pelampung” seperti pada Lampiran.

8.       Apabila semua sungai pada wilayah penelitian, masukan data hasil pengukuran menurut tabel di bawah ini :

 

Nama

Sungai

Seksi

 

Dimensi seksi (m)

Pengukuran waktu tempuh (detik) ke:

Rata-rata

Lebar

Kedalaman

I

II

III

IV

V

Sungai A

1

 

 

 

 

 

 

 

 

Sungai B

1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

 

Sungai C

1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

9.         Hitung debit setiap sungai sesuai tabel di bawah ini.

 

 

Nama

Seksi

Perhitungan debit

Q = k.V.A

Sungai

 

k

L

T

rata-rata

V

A

Sungai 1

1

 

 

 

 

 

 

 

 

Q rata-rata Sungai 1

 

Sungai 2

1

 

 

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

Q rata-rata Sungai 2

 

Sungai 3

1

 

 

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

 

 

3

 

 

 

 

 

 

 

Q rata-rata Sungai 3

 

 

 

o        Metode Current Meter

 

1.       Sesuai dengan namanya, metode ini memerlukan alat yang disebut dengan current meter.  Selain current meter, peralatan lain yang dibutuhkan adalah pengukur waktu (stop watch), meteran, tali/kabel, dan odo chack.

2.       Setelah lokasi pengamatan ditetapkan, tentukan arah penampang melintang.  Arah penampang melintang harus tegak lurus dengan arah aliran.

3.       Ukur lebar permukaan sungai dan tentukan interval seksi.  Setelah pembagian seksi ditetapkan, ukur kedalaman masing-masing seksi.

4.       Siapkan current meter.  Sebelum memulai pengukuran, catat terlebih dahulu waktu setempat, ketinggian muka air, dan kondisi lapang.   Masukkan current meter ke dalam sungai pada kedalaman dan jarak yang telah ditentukan untuk memulai pengukuran.  Pengukuran harus dilakukan secara berurutan dari salah satu tepi ke tepi lainnnya (kanan ke kiri atau kiri ke kanan).  

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 19. Pengukuran dengan current meter

 
 

 


5.       Setelah pengukuran pada seksi terakhir selesai, catat kembali waktu/jam, ketinggian muka air, dan kondisi lapang.

6.       Tuliskan hasil pengukuran pada “Kertas Kerja Pengukuran Debit Metode Current Meter” seperti pada Lampiran.

 

 
 

KOTAK 12: Digital Current Meter

 

Current meter adalah alat pengukur kecepatan aliran sungai.  Alat ini dilengkapi dengan baling-baling (propeler) yang berfungsi sebagai sensor kecepatan.  Ketika dimasukkan ke dalam sungai pada kedalaman tertentu, baling-baling akan berputar. Pada current meter dijital, perputaran baling-baling secara otomatis akan menghitung kecepatan rata-rata aliran sungai.  Selama di dalam air, penghitungan akan terus berlanjut hingga angka pada layar sudah tidak berubah lagi.  Hal ini menunjukkan bahwa penghitungan kecepatan aliran telah selesai dan angka yang terakhir muncul merupakan kecepatan rata-rata.  Angka tersebut tidak akan berubah meskipun current meter diangkat dari sungai.

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 


Ø       Pengukuran kualitas air

 

Pengukuran kualitas air mencakup pengukuran konduktivitas, oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen ), TDS (total dissolved solids ),  tingkat kemasaman (pH).

 

o        Pengukuran Konduktivitas

 

Pengukuran konduktivitas bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan listrik.  Konduktivitas atau daya hantar listrik air berkaitan erat dengan banyaknya material yang terlarut (dissolved) dalam air.  Meskipun demikian, konduktivitas suatu larutan tidak dapat ditentukan melalui pengukuran TDS (total dissolved solid).  Satuan yang digunakan untuk menyatakan konduktivitas adalah micro Siemens per cm (µS/cm).  Perbedaan karakteristk lingkungan akan menyebabkan perbedaan konduktivitas.  Secara teoritis, konduktivitas akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur.  Danau-danau di daerah sejuk memiliki konduktivitas sebesar 50 – 250 µS/cm, sedangkan danau yang mengalami evaporasi dapat memiliki konduktivitas sebesar ratusan hinga ribuan µS/cm. 

       
   
 

Gambar 20. TDS meter

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Pengukuran konduktivitas dilakukan dengan menggunakan DHL meter.   Beberapa jenis DHL meter dijital telah dilengkapi dengan sensor suhu atau Automatic Temperature Compensation sehingga cocok untuk digunakan pada wilayah yang suhunya cepat berubah (fluktuatif).  Penggunaan DHL meter akan optimal pada suhu 0o – 50o C dan kelembaban nisbi 95%.

 

Secara umum, prosedur penggunaan DHL meter dijital adalah sebagai berikut:

1.             Pastikan bahwa DHL meter telah dikalibrasi ulang sebelum pengukuran

2.            

 
Ambil sampel air dari sungai atau badan air lainnya yang akan diteliti.  Sample air harus cukup banyak dan ditempatkan pada wadah yang memungkinkan batang pengukur (probe) terendam secara sempurna.  Jangan lupa, pada setiap wadah tuliskan nomor sampel, lokasi pengambilan sampel, jenis badan air, dan waktu pengambilan (hari, tanggal, dan jam).

3.             Apabila telah terendam, ketuk atau goyangkan batang pengukur secara perlahan pada dasar wadah untuk mengeluarkan gelembung air yang mungkin terjebak di dalamnya.

4.             Aktifkan DHL meter dan tentukan range pengukuran.

5.             Untuk menyesuaikan suhu, putar tombol pengatur suhu (temperatur coefficient) hingga menunjukkan angka 2% (angka 0% berarti tidak ada penyesuaian suhu).  Tunggu beberapa saat hingga tercipta keseimbangan suhu antara sensor dan sampel.  Keseimbangan akan tercapai pada suhu antara  20o–30o C.

6.             Pada saat keseimbangan telah tercapai, pada layar display akan terlihat hasil pengukuran.

7.             Apabila pengukuran telah selesai, matikan DHL meter. Batang pengukur dikeluarkan dari sampel untuk kemudian dibersihkan dan dikeringkan.

 

o        Pengukuran oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen )

 

Pengukuran DO bertujuan untuk mengetahui indikasi awal kemampuan air dalam menunjang kehidupan di dalamnya.  Seperti kita ketahui, air mengandung banyak sekali molekul oksigen dalam bentuk H2O.  Namun demikian, dalam bentuk tersebut, oksigen tidak dapat digunakan untuk pernapasan.  Oksigen untuk pernapasan mahluk hidup di dalam air harus tersedia dalam bentuk oksigen terlarut (dissolved oxygen). 

 

Jumlah oksigen yang terlarut dalam air tergantung pada tinggi rendahnya tekanan udara yang merupakan fungsi dari ketinggian suatu tempat (dihitung dari permukaan laut, dpl).  Pada tempat-tempat berketinggian rendah, oksigen tersedia lebih banyak karena tekanan udaranya tinggi.   Selain itu, arus air yang kuat memungkinkan laju pelarutan yang lebih cepat dan lebih sempurna.   

 

Ketersediaan oksigen di dalam air juga tergantung pada keseimbangan antara kemampuan tumbuhan air untuk memproduksi oksigen melalui photosintesis dan penggunaan oksigen untuk pernapasan hewan air.  Semakin tinggi kedalaman, laju penggunaan oksigen akan semakin cepat dibandingkan laju produksinya karena adanya keterbatasan sinar matahari.   Oleh karena itu, pada perairan dalam hanya ditemukan hewan-hewan air yang tidak terlalu banyak membutuhkan oksigen.

 

DO dinyatakan dalam satuan milimoles O2 per liter (mmol/L) atau miligram O2 per liter (mg/L).  Pada tekanan udara normal dengan suhu 20O C, oksigen terlarut pada air bersih adalah sekitar 9,1 mg/L.

 

Pengukuran DO dilakukan dengan menggunakan DO meter.   Beberapa jenis DO meter dijital telah dilengkapi dengan sensor suhu atau Automatic Temperature Compensation sehingga cocok untuk digunakan pada wilayah yang suhunya cepat berubah (fluktuatif).  Penggunaan DO meter dijital akan optimal pada suhu 0o – 50o C dan kelembaban nisbi 95%.

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Secara umum, prosedur penggunaan DO meter dijital adalah sebagai berikut:

 

1.       Pastikan bahwa DO meter telah dikalibrasi ulang dan alat pengamannya telah dilepas sebelum pengukuran.

2.       Ambil sampel air dari sungai atau badan air lainnya yang akan diteliti.  Sample air harus cukup banyak dan ditempatkan pada wadah yang memungkinkan batang pengukur (probe) dan temperatur suhu terendam secara sempurna.  Jangan lupa, pada setiap wadah tuliskan nomor sampel, lokasi pengambilan sampel, jenis badan air, dan waktu pengambilan (hari, tanggal, dan jam).

3.       Aktifkan DO meter.

4.       Untuk pengukuran yang lebih akurat, kecepatan aliran air minimum yang dipersyaratkan adalah 0,3 m/detik.  Hal ini untuk menjamin agar sirkulasi air dapat memasukkan oksigen pada lapisan-lapisan permukaan yang kosong.   Untuk memastikan apakah kondisi sample telah memenuhi syarat, periksa kestabilan hasil pengukuran.  Setelah stabil, gerakkan kembali batang pengukur secara hati-hati untuk menggerakkan air.  Apabila hasilnya tetap stabil, berarti pengukuran telah benar.  Namun jika menunjukkan peningkatan, berarti pengukuran belum sesuai.

5.       Apabila sampel air mengandung garam atau sampel air diambil dari beberapa lokasi yang memiliki ketinggian berbeda-beda, hasil pengukuran harus dikoreksi.  

 

a)      Kompensasi Ketinggian

Hasil pengukuran pada DO meter umumnya lebih tinggi dari dari nilai aktualnya. Pada kenyataanya, ketinggian yang semakin meningkat akan menyebabkan nilai DO yang semakin rendah.  Oleh karena itu, hasil pengukuran yang terbaca pada DO meter harus dikurangi.  Tabel di bawah ini menunjukkan daya larut oksigen di dalam air untuk berbagai suhu dan ketinggian pada tekanan udara di permukaan laut (760 mm Hg).

 
 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


b)      Kompensasi salinitas

Pengukuran pada DO meter didasarkan atas kondisi salinitas 0 g/L.  Pada kenyataanya, salinitas yang semakin meningkat akan menyebabkan nilai DO yang semakin rendah.  Oleh karena itu, hasil pengukuran yang terbaca pada DO meter harus dikurangi.  Tabel di bawah ini menunjukkan daya larut oksigen di dalam air untuk berbagai suhu dan kadar garam.

 
 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 


o        Pengukuran TDS (total dissolved solids )

 

Total dissolved solid (TDS) adalah jumlah total zat atau materi yang terlarut dalam air.  Selain TDS, juga terdapat istilah TSS (total suspended solid).  Berbeda dengan TDS, TSS menunjukkan jumlah total zat yang mengambang (tidak terlarut) dalam air.  Secara sederhana, apabila sebuah filter (diameter pori-pori 0,45 µm) yang berisi sejumlah materi dimasukkan ke dalam air, maka total materi yang tertinggal di dalam filter disebut sebagai TSS. Sedangkan total materi yang mampu melewati filter disebut sebagai TDS.

 

Materi terlarut dapat berupa anion anorganik (karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat) atau kation anorganik (sodium, potasium, magnesium, dan kalsium).  Pada tingkatan tertentu, keberadaan zat-zat di atas sangat menunjang kehidupan air.  Perubahan konsentrasi TDS akan berdampak terhadap aliran air di dalam sel-sel organisme air. Akibatnya perkembangan organisme dapat terganggu, bahkan hingga terjadi kematian.

 

Konsentrasi TDS yang tinggi akan menganggu proses fotosintesis, meningkatkan suhu. Kandungan logam berat dan zat beracun juga akan tinggi sehingga kualitas air pun menurun.  Beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi TDS adalah:

a.       Kondisi geologi.  Aliran permukaan di atas batuan granit memiliki konsentrasi TDS yang lebih rendah dari pada di atas batuan calcit.

b.       Penggunaan pupuk akan meningkatkan konsentrasi TDS pada badan-badan air yang berdekatan atau berhubungan dengan saluran irigasi.

c.       Erosi tanah akan membawa berbagai partikel yang mudah larut ke dalam air sehingga akan meningkatkan konsentasi TDS

d.       Pembusukan jasad hewan dan tumbuhan akan melepaskan partikel mudah larut ke dalam air sehingga akan meningkatkan konsentasi TDS

 

Konsentrasi TDS dapat dinyatakan dalam ppm atau mg/liter.

 

Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan TDS meter.   Beberapa jenis TDS meter dijital telah dilengkapi dengan sensor suhu atau Automatic Temperature Compensation sehingga cocok untuk digunakan pada wilayah yang suhunya cepat berubah (fluktuatif).  

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 22. TDS meter

 
 

 


Secara umum, prosedur penggunaan TDS meter adalah sebagai berikut:

 

1.       Pastikan bahwa TDS meter telah dikalibrasi dan dibersihkan sebelum digunakan untuk pengukuran.  Jika dibersihkan dengan menggunakan air suling, pastikan batang pengukur dalam keadaan kering.  Untuk mengeringkan, cukup goyangkan batang pengukur dengan hati-hati pada udara kering.

2.      

 
Ambil sampel air dari sungai atau badan air lainnya yang akan diteliti.  Sample air harus cukup banyak dan ditempatkan pada wadah yang memungkinkan batang pengukur (probe) hingga di atas garis batas.  Pada setiap wadah tuliskan nomor sampel, lokasi pengambilan sampel, jenis badan air, dan waktu pengambilan (hari, tanggal, dan jam).

3.       Hubungkan batang pengukur dengan TDS meter.

4.       Masukkan batang pengukur ke dalam sampel.

5.       Aktifkan TDS meter sesuai kondisi default (konstanta = 1,0; suhu = 25oC, koefisien suhu = 2,1%, dan faktor TDS= 0,67).

6.       TDS meter secara default akan menjalankan fungsi auto-ranging  dan menampilkan hasil pengukuranya pada layar.  Tunggulah beberapa saat hingga angka pada layar tidak berubah-ubah lagi (stabil)

7.       Bila fungsi auto ranging ingin dialihkan ke pengaturan manual, interval yang dapat dipilih disajikan pada tabel di bawah ini.

 
 

 
 

 


 

 

 

 

 

o        Pengukuran pH (tingkat keasaman)

 

Tingkat keasaman suatu badan air akan mempengaruhi jenis organisme yang dapat hidup di dalamnya.  Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keaktifan ion hidrogen (H+) dan ion hidroksil (H-).  Semakin tinggi keaktifan ion hidrogen akan meningkatkan keasaman (nilai pH rendah), semakin tinggi keaktifan ion hidroksil akan menyebabkan air bersifat basa (nilai pH tinggi).  Sedangkan bila tingkat keaktifannya sama, air akan bersifat netral.   Pengukuran pH dilakukan pada skala 1 hingga 14.  Nilai pH lebih rendah dari 7 menunjukkan sifat asam, bila lebih tinggi dari 7 menunjukkan sifat basa.

 

Tinggi rendahnya pH pada suatu badan air dapat dipengaruhi oleh formasi geologi, sifat air hujan, karakteristik badan air, dan aktifitas manusia.  Badan-badan air di wilayah kapur memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap perubahan pH atau disebut dengan hardwater.  Air yang mudah mengalami perubahan pH disebut softwater.  Air hujan (umumnya ber-pH 5,6) dan masuknya bahan-bahan organik akan ke dalam badan air juga akan meningkatkan pH.  Demikian juga dengan badan-badan air yang berdekatan dengan tanah-tanah pertanian.  Penggunaan pupuk yang mengandung phospor akan menyebabkan kenaikan pH.    

 

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.

 

 

 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 

Gambar 23.  pH meter

 
 

 


Secara umum, prosedur penggunaan pH meter adalah sebagai berikut:

                                     

1.             Pastikan bahwa pH meter telah dikalibrasi dan dibersihkan sebelum digunakan untuk pengukuran.  Jika dibersihkan dengan menggunakan air suling, pastikan batang pengukur dalam keadaan kering.  Untuk mengeringkan, cukup goyangkan batang pengukur dengan hati-hati pada udara kering.

2.            

 
Ambil sampel air dari sungai atau badan air lainnya yang akan diteliti.  Sample air harus cukup banyak dan ditempatkan pada wadah yang memungkinkan batang pengukur (probe) hingga di atas garis batas.  Pada setiap wadah tuliskan nomor sampel, lokasi pengambilan sampel, jenis badan air, dan waktu pengambilan (hari, tanggal, dan jam).

3.             Hubungkan batang pengukur dengan pH meter.

4.             Masukkan batang pengukur ke dalam sampel dan aduk secara perlahan. Tunggulah beberapa saat hingga angka pada layar tidak berubah-ubah lagi (stabil). Derajat keasaman yang dapat diukur adalah 0.00 – 14.00 pH.

 

 

 

 

 

 

 

3.3  Pengamatan Aktivitas Manusia

 
 

KOTAK 13: Prosedur umum pengamatan aktivitas manusia

 

·          Perhatikan suasana kehidupan penduduk

·          Perhatikan jenis-jenis aktivitas ekonomi/sosial yang timbul

·          Perhatikan kondisi medan dan jaringan jalan

·          Periksa apakah terdapat tanda-tanda kesulitan penduduk dalam menjalankan aktivitasnya

·          Pehatikan lokasi setiap jenis aktivitas ekonomi/sosial

·          Periksa pola sebaran aktivitas ekonomi/sosial

·          Kaitkan polas sebaran aktivitas ekonomi/sosial dengan kondisi medan dan jaringan jalan.

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 


Tujuan pengamatan aktivitas manusia adalah untuk mengidentifikasi dan memahami kontribusi atau peranan manusia dalam membentuk karakter permukaan bumi.

 

Pengamatan aktivitas manusia harus didahului oleh interpretasi terhadap peta topografi/peta rupa bumi.  Hal-hal penting yang perlu diamati dan dipahami dari peta topografi/peta rupa bumi adalah mencakup bentuk dan sebaran permukiman, pola jaringan jalan, dan kondisi medan.  Hal ini dimaksudkan agar setiap peserta kuliah lapang dapat memahami suasana kehidupan penduduk secara umum sebelum mendalaminya dengan lebih detail.  Sebagai contoh, permukiman penduduk dengan luasan sempit serta terpencar-pencar menandakan dinamika kehidupan yang relatif rendah.

 

Setelah mengamati dan memahami peta topografi/peta rupa bumi dengan baik, selanjutnya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Menyiapkan peta kerja yang memuat unsur-unsur penting demi memudahkan survey lapang, seperti: jaringan jalan, sungai, dan titik tinggi.
  2. Menentukan beberapa titik lokasi sebagai tujuan survei.
  3. Menentukan rute perjalanan guna mengunjungi lokasi-lokasi tujuan
  4. Mengunjungi lokasi-lokasi tersebut, baik dengan menggunakan angkutan umum ataupun berjalan kaki.

 

Dalam kegiatan survey dan pemetaan, setiap kelompok harus:

  1. Menentukan kerangka dasar pemetaan aktivitas penduduk. Kerangka dasar tersebut dapat berupa (dapat memilih lebih dari satu):

a.       Jaringan jalan

Kelompokkan jaringan jalan berdasarkan kualitasnya, misalnya: jalan beraspal, jalan berbatu, jalan tanah, dan jalan setapak  atau jalan utama, jalan penghubung, dan jalan lingkungan/jalan kampung.

b.       Garis ketinggian

Meregionkan wilayah pengamatan berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, misalnya: 0-7 m, 7-25 m, 25-100 m, 100-300 m, 300-500 m, 500-700 m, 700-1000 m, dan lebih dari 1000 m. 

c.       Jarak dari pusat desa/wilayah pengamatan

Tentukan satu permukiman/kampung sebagai titik pusat. Misalnya kampung tempat keberadaan kantor desa.  Dengan menggunakan jangka, buatlah beberapa lingkaran yang berpusat pada kampung tersebut.  Selisih radius antar lingkaran dapat dibuat 0,5 km atau 1 km.  Hitunglah radius tersebut dengan memperhatikan skala peta kerja.

  1. Memplotkan ke dalam peta kerja lokasi setiap aktivitas ekonomi/sosial yang dijumpai di wilayah pengamatan.  Adapun aktivitas ekonomi/sosial tersebut dapat berupa:

 

1

Rumah sakit/klinik/puskesmas/posyandu

12

Pelabuhan/dermaga

2

Tempat ibadah

13

Tempat pelelangan ikan

3

Sekolah

14

Bengkel/tambal ban/bensin eceran

4

Kantor pos

15

Industri rumah tangga/kecil

 

5

Wartel/Warnet

16

Usaha foto copy

 

6

Restaurant/rumah makan/kedai

17

Sawmill/penggergajian kayu

 

7

Hotel/losmen/penginapan

18

Penggilingan gabah kering

 

8

Pasar/warung tradisional

19

Bendungan/waduk/pintu air/

 

9

Pasar modern/toko swalayan

20

Kolam pemancingan/kolam air tawar

 

10

Terminal bis/angkot

21

Pergudangan

 

11

Pangkalan ojek

22

Rumah/sarang walet

 

 

  1. Menggambarkan garis batas sawah, kebun/tegalan/perkebunan, dan hutan serta mencatat jenis tanamannya.
  2. Melengkapi catatan lapang dan formulir/tabel yang telah disediakan

 

Selanjutnya, berdasarkan peta yang dihasilkan dari lapangan, setiap kelompok memberikan penjelasan mengenai pola sebaran aktivitas penduduk di wilayah pengamatan masing-masing.  

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

           

 

Anonim.  Dinas Pertambangan dan Geologi Provinsi Jawa Barat

2005.  Supriatna, dkk. Modul Kuliah Kerja Lapang I. Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia.


ShoutMix chat widget
 
banyak pengunjung 19065 visitors (27379 hits) pada halaman ini
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free